Minggu, 18 Oktober 2009

Pengaruh nutrisi terhadap performans reproduksi ternak sapi

Pendahuluan

Performans reproduksi ternak ruminansia pada daerah tropis umumnya ditentukan oleh empat faktor, yaitu genetic, lingkungan fisik, nutrisi dan manajemen ( Smith dan Akinbamijo, 2000). Fakta –fakta di lapangan dan beberapa literatur telah membuktikan bahwa faktor nutrisi merupakan faktor yang lebih kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena reproduksi dibanding faktor lainnya. Jadi, nutrisi yang cukup dapat mendorong proses biologis untuk mencapai potensi genetiknya, mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang baik tidak hanya akan mengurangi performans dibawah potensi genetiknya, tetapi juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan . Disamping itu, faktor nutrisi lebih siap dimanipulasi untuk menjamin luaran / produk yang positif dibanding faktor-faktor lainya. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian yang serius terhadap interaksi antara nutrisi dan reproduksi terutama di daerah tropika, yang disebabkan beberapa hal antara lain: ketidak-cukupan nutrisi dalam arti secara kuantitatif yaitu konsumsi pakan dan kualitatif yaitu ketidakseimbangan zat-zat nutrisi. Kegagalan memahami dengan baik interaksi ini untuk mengurangi dampak negatif dan memperbesar dampak positif akan berpengaruh buruk terhadap efisiensi produksi ternak, karena hal ini sangat bergantung kepada performans reproduksi.
Reproduksi adalah sejumlah rangkaian proses fisiologis yang berlangsung sepanjang tahun. Pada situasi dimana kuantitas dan kualitas pakan tersedia sepanjang tahun tidak terbatas, maka masalah reproduksi jarang diketemukan. Namun demikian, pada kondisi peternakan ektensif dimana ketersedian pakan berfluktuasi sekali sepanjang musim maka reproduksi dapat menjadi masalah. Beberapa penelitian (Kirkwood dkk, 1987; Manspeaker dkk, 1989) dan kajian ilmiah ( Haresign, 1984; Short dan Adams, 1988; Randel, 1990; Smith dan Somade, 1994) telah mempelajari pengaruh kuantitas pakan dan energi, juga kualitas protein dan konsumsi makronutrisi terhadap performans reproduksi. Pada umumnya, hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa nutrisi jelek yang disebabkan tidak cukup, kelebihan atau ketidakseimbangan konsumsi nutrisi dapat berpengaruh buruk terhadap berbagai tahap proses reproduksi mulai dari keterlambatan pubertas, mengurangi tingkat ovulasi dan rendahnya angka konsepsi, tingginya kehilangan embrio dan fetus, panjangnya lama anestrus paska melahirkan, kurangnya air susu, tingginya kematian perinatal dan rendahnya performans anak baru lahir.
Pada makalah ini akan difokuskan kepada kajian dampak nutrisi terhadap proses fisiologis reproduksi pada ternak ruminansia dan beberapa hal aktual yang berhubungan dengan interaksi nutrisi dan reproduksi.
Pengaruh Energi Terhadap Performans Reproduksi.
Respon reproduksi terhadap suplai energi menjadi tiga bagian: (1). Pengaruh jangka lama, yang berpengaruh terhadap ternak mulai dari lahir, pubertas sampai dewasa, (2). Pengaruh jangka menengah, yang berpengaruh terhadap daur reproduksi tahunan pada ternak betina dewasa, dan (3). Pengaruh jangka pendek teru¬tama pada saat periode sebelum dan sesudah kawin.
Status gizi / nutrisi seekor ternak dari lahir sampai dewasa dapat berpengaruh terhadap total performans reproduksinya melalui pengaruhnya terhadap umur pada saat pubertas yang akan berdampak terus terhadap reproduksi pada saat dewasa. Menurut Haresign (1984) pada sapi dan domba telah dibuktikan bahwa kekurangan nutrisi pada saat pemeliharaan dapat memperlambat waktu pubertas dan pengaruh residunya terhadap fertilitas (kemampuan untuk melahirkan) pada waktu dewasa. (Tabel 4.1). Pengaruh energi jangka menengah berhubungan dengan fluktuasi dalam konsumsi energi pada setiap tahap dari siklus musim kawin yang menghasilkan akumulasi atau kehilangan cadangan energi tubuh sehingga berpengaruh terhadap kondisi tubuh pada waktu kawin. Respon reproduksi terhadap suplai energi dalam jangka waktu pendek, sudah banyak dilakukan pada ternak domba (Haresign, 1984; Smith 1984), dimana pemberian pakan tambahan sebelum dan sesudah peri¬ode kawin (metode "flushing) dapat meningkatkan tingkat ovulasi dan kesuburan ternak.( Tabel 4.2)
Tabel 4.1. Performans reproduksi domba Merino lebih dari lima tahun melahirkan setelah diberi level nutrisi berbeda selama pemeliharaan
Level Pakan Peluang melahirkan Keberhasilan melahirkan % Melahirkan
Rendah (0-14 bln) 37 32 89
Tinggi (0 – 2 bln)
Rendah 2 – 14 bln) 34 33 103
Tinggi (0 – 14 bln) 70 62 109

Tabel 4.2. Pengaruh PMSG (600 i.u) terhadap tingkat Ovulasi pada domba yang diberi perlakuan flushing dengan waktu yang berbeda-beda.

Lama Flushing T i n g k a t Ovulasi
Tanpa PMSG Dengan PMSG
Kontrol 1,33
5 - 8 hari 1,50 2,83
1 siklus berahi 1,83 2,17
2 Siklus berahi 2, 17 2,50
Dibawah Kebutuhan Hidup Pokok 1,00 2,40

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatasan energi dalam ransum sapi dapat menyebabkan tidak berahi (anes¬trous) pada sapi-sapi betina yang siklus berahinya normal (Richard dkk, 1989; Shrick dkk 1992), Pengurangan level energi dalam ransum sapi betina dapat mengubah perkembangan folikel (Perry dkk, 1991; Murphy, 1991), menurunkan diameter folikel preovulasi dan menghambat pertumbuhan folikel dengan diameter terbesar selama siklus estrus (Burn dkk 1997) dan menurunkan konsentrasi "insulin like growht faktor" (IGF-1) (Spicer dkk, 1990; Burns dkk, 1997). IGF-1 merangsang proliferasi seluler dan diferensiasi sel secara in-vitro (Monniaux & Pisselet, 1992; Spicer dkk, 1990). Pemberian garam kalsium dalam rantai panjang asam lemak. (CalCFA) telah mengurangi folikel kecil (berukuran 3 - 5 mm) dan mempun¬yai lebih banyak folikel besar (6 - 9 mm). Ukuran rataan folikel preovulasi lebih besar pada sapi-sapi yang mendapat CalCFA (energi terendah dan tertinggi) dibanding sapi-sapi yang diberi ransum kontrol (16,0 vs 18,7 mm dan 18,4 mm vs 12,4 mm) (Lucy dkk 1992).
Performans reproduksi sapi betina paska melahirkan sering dibatasi oleh konsumsi energi yang lebih rendah dari pada penge¬luaran energi. Hal ini disebabkan adanya keseimbangan energi negatif yang terjadi pada masa akhir kebuntingan, paska melahirkan dan masa laktasi pada sapi potong dan sapi perah yang dapat menur-unkan sekresi LH dan menunda kembalinya berahi (Haresign, 1984; Lucy dkk 1992) ( Tabel 3) . Sapi betina menyusui yang diberi pakan dengan energi terbatas menghasilkan korpus luteum subfungsional selama siklus estrus sebelum menjadi anestrus (Shrick dkk 1992; Burn dkk, 1997). Pemberian ransum dengan kandungan lemak 5,2% pada sapi perah, sebelum dan sesudah melahirkan meningkatkan ukuran dan jumlah folikel pasca melahirkan, mempengaruh konsentrasi hormon steroid sebelum melahirkan dan berat lahir anak sapi (Lammoglia dkk, 1996).
Tabel 4.3. Pengaruh level Pakan pada pra- dan paska- melahirkan terhadap aktivitas reproduksi pada sapi potong sedang menyusui.
Level pakan pada waktu pra dan paska melahirkan

Pra Paska Skor kondisi tubuh waktu melahirkan % sapi berahi pada 90 hari paska melahirkan Jarak kelahiran sampai berahi pertama ( hari) Periode involusi uterus ( hari)
Tinggi Tinggi 6,8 95 48 35
Tinggi Rendah 6,5 86 43 38
Rendah Tinggi 4,4 85 65 40
Rendah Rendah 4,5 22 52 42

Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa pembatasan pakan pada periode akhir kebuntingan menghasilkan penurunan skor kondisi tubuh ( yang merefleksikan cadangan lemak tubuh) dan konsekuensinya berdampak terhadap munculnya lagi berahi setelah melahirkan. Skor kondisi tubuh yang baik pada kawin setelah melahirkan adalah diatas dari nilai 5 (skala 1 = sangat kurus sampai 9 = sangat gemuk), yang telah dibuktikan dapat menghasilkan tingkat kebuntingan lebih dari 90 % pada sapi potong dengan sistem ranch ( Kunkle, Sand dan Rae, 1998). Skor kondisi tubuh merupakan indicator yang sangat berguna dan praktis untuk melihat status energi dan performans untuk kawin kembali setelah melahirkan (Randel 1990).
Kekurangan energi sebelum melahirkan ( dibawah kebutuhan hidup pokok) sebaiknya dihindarkan karena hal ini dapat menyebabkan cekaman metabolic dengan gejala subklinis ketosis dan gangguan hati , yang diikuti oleh tingginya kejadian tertinggalnya plasenta, endometritis dan rendahnya tingkat kebuntingan setelah masa laktasi ( Lothammer, 1989 ). Pengaruh negatif dari ketersedian energi yang tidak cukup akan diperbesar oleh kekurangan energi setelah melahirkan. Namun demikian, kelebihan energi pada periode kering sapi perah juga dapat berdampak buruk terhadap pemulihan kondisi uterus dan tingkat kebuntingan paska melahirkan dan menimbulkan gejala subklinis ketosis dan paresis pueperalis (Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Performans reproduksi dan frekuensi penyakit metabolisme pada sapi perah yang diberi protein dan energi pada level berbeda pada periode kering .


Level Pakan : Kelompok I Kelompok II
Signifikansi
Hidup Pokok + 16 kg
(% FCM tinggi) Hidup Pokok + 2 kg
( % FCM rendah )
Lambatnya involusi uterus 53,6 17,2 **
Endometritis 70,8 26,9 **
Folikel cyst 44,8 18,7 *
Tk kebuntingan dengan 1 atau 2 inseminasi 46,4 74,1 *
Paresis pueperalis 26,2 6,3 *
Subklinis acetonaemia 65,5 45,5 *

Pada dua sampai tiga minggu masa laktasi, energi dari berbagai sumber sangat penting untuk memulai aktivitas ovarium dan berhubungan dengan masa involusi uterus. Kekurangan energi akan menghasilkan berahi tenang, tertundanya ovulasi dan folikel syst.
Pada ternak jantan, seperti halnya pada sapi betina, kelebihan atau kekurangan energi harus dihindari karena kedua kondisi tersebut berdampak negative terhadap kualitas semen dan proses spermatogenesis. Telah dibuktikan kekurangan energi yangekstrim akan menyebabkan terlambatnya masa pubertas pada sapi potong dan dapat menghambat produksi spermatozoa (Corah , 1987) . Pejantan yang diberi ransum berenergi tinggi mempunyai kualitas semen yang lebih rendah dibanding dengan pejantan yang diberi ransum berenergi sedang. Peningkatan energi ransum dapat mempengaruhi termoregulasi testis dan skrotum melalui pengurangan sejumlah panas yang dapat diradiasikan dari leher skrotum , sehingga terjadi peningkatan suhu testis dan skrotum yang berdampak terhadap penurunan produksi sperma dan kualitas sperma (Coulter, Cook dan Kastelie, 1997; Hafez & Hafez, 2000 )

Pengaruh Protein Terhadap Performans Reproduksi.
Pada ternak ruminansia , sebagian besar kebutuhan proteinnya dapat disuplai oleh produksi protein sendiri ( 70% ) dalam arti protein diproduksi melalui protein mikroba . Namun demikian, data dari beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kebuntingan pada sapi dewasa dan heifer dipengaruhi oleh konsumsi protein pada waktu pra - dan paska melahirkan. Data dari sapi potong sedang laktasi dan sapi dara yang menerima ransum protein rendah dengan berbagai level energi selama periode kebuntingan mempunyai tingkat kebuntingan yang lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat ransum protein tinggi ( Randel, 1990). Hal yang sama terjadi pada kelompok sapi yang sedang menyusui, tingkat kebuntingan sangat dipengaruhi oleh kecukupan protein dalam ransumnya ( Tabel 4. )
Namun demikian pengaruh kelebihan protein terhadap “services per conception (S/C) ” dan “ days open “ pada sapi perah tidak konsisten. Sebagian peneliti melaporkan bahwa kelebihan protein ( > 19 % dalam ransum) cenderung meningkatkan angka service per conception ( Jordan dan Swanson, 1979) sedangkan sebagian lainya melaporkan kelebihan protein tidak berpengaruh terhadap angka S/C ( Howard dkk, 1985 dan Aalserth dkk, 1986).
Kandungan protein dalam ransum juga dapat meningkatkan konsumsi total ransum (dalam arti konsumsi bahan kering ransum ) sapi perah dengan kisaran dari 0 samapai 2 kg bahan kering / hari
Tabel 4.5. Pengaruh suplementasi ransum protein sebelum melahirkan dan paska melahirkan terhadap persentase (%) tingkat kebuntingan kelompok sapi yang menyusui.
Status protein dalam ransum
Cukup Tidak Cukup Signifikan (P) Sumber pustaka
PRA - MELAHIRKAN
85 71 <0,11 Wetteman dkk 1980.
92 76 > 0,10 Rasby dkk 1982
58 21 <0,02 Mobley dkk, 1983
84 12 <0,01 Garmendia dkk, 1984
39 12 <0,07 Seik dkk, 1985
92 80 >0,10 Seik dkk, 1985
PASKA MELAHIRKAN
94 44 <0,05 Forero dkk, 1980
96 82 <0,03 Cantrel dkk 1983
91 71 <0,01 Kropp dkk, 1983
92 77 <0,01 Hancock dkk , 1984
95 80 <0,01 Hancock dkk 1985
Sumber : Dikutip dari Randel , 1990
Laju peningkatan konsumsi bahan kering ini bervariasi bergantung kepada kualitas protein apakah protein itu mudah didegradasi atau tidak oleh mikroba rumen ?, kecukupan protein untuk pembentukan mikroba rumen dan keseimbangan asam amino dalam ransum protein ( Faverdin dkk, 2003). Peningkatan konsumsi bahan kering ransum ini secara tidak langsung akan meningkatkan pemenuhan energi dan protein bagi pertumbuhan maupun kebutuhan untuk aktivitas reproduksi.
Pengaruh mineral dan Vitamin terhadap Performans Reproduksi
Kebutuhan makromineral Kalsium dan Phosfor untuk ternak ruminansia lebih ditentukan oleh perbandingan kedua mineral tersebut. Telah dibuktikan bahwa frekuensi penyakit endometritis meningkat bila ratio Ca : P menurun Kalsium berperanan setelah melahirkan untuk proses involusi uterus. Sebaiknya rasio perbandingan Ca:P dipertahnkan dalam perbandingan 2: 1 dengan suplai P sebaiknya lebih tinggi dalam keadaan strees (Lotthammer, 1989). Sedangkan untuk perbandingan Na : K dipertahankan dalam rasio 10 : 1., kekurangan Natrium berhubungan dengan kelebihan Kalium dapat mengurangi tingkat kesuburan melalui siklus estrus tidak teratur, endometritis dan folikel syste. Suplementasi Natrium melalui garam merupakan cara yang murah dan sebaiknya diberikan secara ad libitum.
Mineral lain yang berperan adalah seng ( Zn) yang terlibat dalam beberapa reaksi enzimatik berhubungan dengan metabolisme karbohidrat , sintesis protein dan metabolisme asam nukleat ( Smith dan Akinbamijo, 2000). Oleh karena itu zat seng sangat penting untuk sel seperti sel-sel gonad dimana pertumbuhannya aktif dan terjadi pembelahan. Konsekuensinya, fungsi reproduksi akan serius terganggu bikla kekurangan Zn, spermatogenesis dan perkembangan organ kelamin sekunder dan primer pada jantan serta semu fase proses reproduksi pada betina mulai dari estrus , kebuntingan sampai laktasi akan terganggu (Underwood, 1981).
Tepat sekali untuk mensuplementasi tembaga (Cu) dan molybdenum (Mo) secara bersamaan, karena interaksi kedua mineral sudah diketahui dengan baik. Interaksi yang dapat mengganggu penggunaan tembaga. Thiomolibdat dibentuk dalam rumen mengikuti reaksi sulfur dan molybdenum. Selanjutnya, tiomolibdat berekasi dengan tembaga membentuk cuprum thiomolibdat yang tidak larut dimana tidak tersedia bagi sapi. Komplek tembaga – molybdenum – sulfur merupakan salah satu pembatas interaksi yang mempengaruhi penggunaan tembaga dan menyebabkan kekurangan sekunder tembaga ( dalam arti, adanya kandungan Cu yang cukup dalam ransum untuk mengatasi kekurangan primer tembaga menghasilkan kandungan Cu tidak cukup dalam ransum). Menurut Phillipo dkk (1987) , cadangan tembaga pada sapi perah dara habis setelah mengkonsumsi besi (Fe) dan molybdenum (Mo). Hubungan natagonis lainnya yang dapat mengurangi ketrersediaan tembaga, menyebabkan kekurangan sekunder, gejala sub-klinis dan gangguan efisisensi reproduksi adalah komplek tembaga-besi, tembaga – seng dan tembaga-phytat. Kelemahan ini dalam pemebentukan komplek biologis tidak tersedia merupakan bagian yang bertanggungjawab untuk kejadian tingginya sindrom kekurangan tembaga, khususnya pada ternak ruminansia yang merumput.
Terdapat hubungan yang definitif antara selenium (Se) dan Vitamin E. Vitamin E berperan sebagai antioksidan seluler yang melindungi sel-sel dari pengaruh berbahaya dari hydrogen peroksida dan bentuk peroksida lain dari asam-asam lemak (Surai, 1999). Sedangkan fungsi selenium merupakan komponen dari kofaktor dari sistem enzim glutathione peroxidase (GSH-Px) yang bertanggung jawab untuk pengaturan ekstra dan intraseluler hydroperoxidase (Burk dan Hill, 1993). Pada kondisi kekurangan selenium dan vitamin E, radikal-radikal bebas ini berakumulasi dan tidak hanya merusak membrane sel, tetapi juga mengganggu beberapa proses yang berkaitan dengan sistesis steroid, prostaglandin , motilitas sperma dan perkembangan embryo (Smith dan Akinbamijo, 2000). Menurut Anke dkk, (1989) , ternak kambing merupakan salah satu ternak yang peka terhadap kekurangan selenium disbanding ternak lainnya. Pengaruh buruk dari ransum yang kurang selenium dapat diobservasi terhadap beberapa fenomena reproduksi mulai dari awal munculnya berahi , terjadinya pembuahan sampai produksi susu dan performans keturunannya (Tabel 5).

Tabel 4.6. Pengaruh kekurangan selenium terhadap kejadian proses reproduksi pada kambing betina
Proses Reproduksi Kontrol Kekurangan Selenium P
Berahi Terdeteksi Terdeteksi tapi lambat
Kebuntingan (%) 93 64 P<0,05
Kb tidak subur 7,4 36 P<0,05
Anak disapih/induk pada 90 hari 0,89 0,36 P<0,01
4 % produksi susu (l) / hari 1,02 0,91 P<0,001
Lemak susu, g/hari 41 36 P<0,001
Protein susu g/hari 32 28 P<0,001


Pada ternak ruminansia umumnya mengkonsumsi vitamin A dalam bentuk tidak aktif- ß carotene atau Provitamin A- , kecuali jika diberikan suplemen biji-bijian berbasis konsentrat. Provitamin A diubah menjadi bentuk aktif vitamin A dalam usus kecil dan bersama dengan suplemen vitamin A yang telah terbentuk disimpan dalam hati, otot, telur dan susu untuk digunakan berbagai macam fungsi, termasuk yang berhubungan dengan fenomena reproduksi. Gangguan reproduksi yang dapat diamati dengan adanya kekurangan vitamin A pada ternak adalah terlambatnya pubertas, rendahnya tingkat kebuntingan, tingginya kematian embrio, tingginya kematian anak baru lahir karena lemah, kebutaan dan berkurangnya libido pada jantan ( Smith dan Somade , 1994) serta pada ternak babi memperbaiki jumlah kelahiran per induk ( Litter size) ( Whaley dkk, 1997).
Dari beberapa bukti penelitian diatas , fungsi –fungsi kritis dari mikronutrisi ( mikromineral dan vitamin) terhadap seluruh proses biologis dan konsekuesi kurangan zat mikronutrisi tersebut terhadap performans reproduksi dapat diringkas seperti yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 4.7. Peran mikronutri terhadap penampilan reproduksi ternak

Mikronutrisi Mekanisme/ Fungsi metabolis Konsekuensi defisiensi
Vitamin A Steroidogenesis, Sinkronisasi embrionik Terlambatnya pubertas, rendahnya tingkat konsepsi, kematian embrio, mengurangi libido.
Vitamin E Detoksifikasi radikal bebas intra-membran Konsentrasi sperma rendah dan tingginya kejadian droplet sitoplasmik, tertinggalnya membrane fetus.
Selenium Komponen dari Glutation peroksidase (GSH-Px). Mengurangi motilitas sperma dan kontraksi uterus, ovari sistik, tingkat kesuburan rendah, tertinggalnya membrane foetus.
Cuprum (Cu) Komponen enzim dan katalis terlibat dalam steroidogenesis dan sintesis prostaglandin Fertilitas rendah, tertundanya / hilangnya berahi, abortus / resorpsi fetus.
Seng (Zn) Penyusun beberapa metallo-enzim, steroidogenesis, metabolisme karbohidrat dan protein. Gangguan spermatogenesis dan perkembangan organ kelamin sekunder pada jantan, berkurangnya fertilitas dan litter size pada spesien multiparous.


Faktor lain
Pada kondisi tertentu, beberapa zat yang dikandung tanaman dapat mempengaruhi kesehatan dan fertilitas ternak. Masalah kesuburan ternak akan meningkat dengan tinginya nitrat dalam rumput. ( Tabel 7) . Kandungan nitrat dalam tanaman berkorelasi positif dengan dengan musim kering dan pemupukan nitrogen. ( Fergusson dan Chalupa, 1989). Jenis rumput yang mempunyai kandungan nitrt tinggi adalah famili Cruciferae dan kekurangan energi dapat memperbesar dampak negatifnya
Tabel 4.8. Persentase kejadian penaykit reproduksi dan kesuburan paska melahirkan setelah merumput pada berbagai level nitrat dalam bahan kering rumput
Penyakit Konsentrasi NO3 dalam bahan kering (%)
< 0,30 0,30 – 0,50 >0,50
Paresis 0 6,1 17,2
Endometritis 25,0 36,4 44,8
Tertinggal plasenta 0 13,6 10,3
Abortus / keturunan lemah 7,1 6,1 3,4

Tanaman fitoestrogenik seperti Trifolium dan beberapa cendawan dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas reproduksi, khususnya terhadap gangguan proses berahi.
Zat lain yang sudah dikenal berpengaruh terhadap reproduksi jantan adalah gosipol yang berasal dari biji kapas atau biji kapok. Dampak negative gosipol pada reproduksi sapi jantan sudah dikaraterisasikan dengan baik ( Velasquez-Pereira dkk, 1998) dimana sapi jantan akan mengalalmi gangguan dalam proses spermatogenesis, kurangnya libido sampai terjadi kemandulan. Pada sapi perah betina, pemberian ransum yang mengandung 42,7 g gosipol bebas/ekor/hari menghasilkan kadar hemoglobin rendah, fragilitas osmotic eritrosit meningkat dan mati (Lindser dkk ,1980) . Gosipol menghambat pematangan kultul oosit sapi (Lin dkk, 1994) dan mengurangi perkembangan embrio sapi bila dikultur dengan 5 – 10 µg /mL gosipol (Brocas dkk, 1997). Efek negative gosipol ini disebabkan gosipol terlibat dalam memproduksi radikal bebas ( Fornes dkk , 1993). Oleh karena itu penambahan vitamin E yang betindak sebagai zat penghambat radikal bebas dapat mencegah dampak negatif gosipol. Hal ini terbukti penambahan vitamin E pada ransum sapi potong dara yang diberi perlakuan superovulasi dapat mengurangi efek negatif gosipol terhadap respon superovulasi dan perkembangan embrio, meskipun konsentrasi gosipol dalam endometrium uterus cukup tinggi (Velasquez-Pereira dkk, 2002).
Kesimpulan pengaruh nutrisi pada daerah tropika adalah performans reproduksi ternak umumnya cukup rendah, terutama pada sistem produksi tradisional ekstensif dan semi- intensif dan masih dibawah kondisi optimum pada sistem produksi intensip seperti pada peternakan ayam ras atau pemeliharaan sapi di negara –negara maju. Rendahnya gizi nutrisi pada pakan ternak merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap rendahnya performans reproduksi dan mempunyai potensi untuk berdampak negative terhadap performans produksi lainnya.
Perbaikan nutrisi pada sistem peternakan di daerah tropika perlu dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, bukan difokuskan kepada aspek energi dan protein, tetapi juga sebaiknya memperhatikan aspek mikronutrisi lainnya sehingga potensi genetiknya akan muncul dan dapat meningkatkan performans reproduksi.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan pengetahuan kita terhadap pengaruh faktor nutrisi yang mempengaruhi fertilitas dan kesehatan , terutama menentukan kandungan zat-zat nutrisi pada hijauan makanan ternak lokal , yang berhubungan dengan iklim dan kondisi tanah.