Dampak pemanasan global terhadap produktivitas ternak
( Global warming effect on animal productivity).
Oleh Herry Sonjaya Abstrak
Pemanasan global merupakan salah satu penyebab perubahan iklim dunia yang dapat mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas ternak. Pengaruh langsung pemanasan global dapat terjadi pada kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak, sedangkan pengaruh tidak langsung nya melalui ketersediaan biji-bijian untuk pakan tambahan dan terhadap produksi dan kualitas hiajuan makanan ternak. Pada tulisan akan dibahas terutama dampak langsung pemanasan global dan terutama akan difokuskan terhadap respon ternak perah dan sapi potong. Berbagai alternatif untuk mengurang dampak tersebut akan didiskusikan.
Abstract
Global warming is one of the cause of global climate change which could poteantially direct and direct effect on animal productivity. The direct effect of global warming could be affect on healt, growth and animal reproduction., meanwhile the indirect effect affected to livestock feed-grain availability and livestock forage production and quality. The present papers deals with the direct effect of global warming and will be mainly focused on the response dairy and beef cattle. Different alternatives to reduce those effets will be discussed.
Pendahuluan
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata di atmosfer, laut dan daratan Bumi. Temperatur rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC, sehingga sebagian panas ( berasal dari energi matahari) terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca tersebut. . Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan temperatur rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Dengan adanya peningkatan temperatur lingkungan, diduga akan menyebabkan berbagai perubahan pada beberapa tempat di permukaan bumi ini. Peningkatan temperatur bumi dapat meningkatkan level pemukaan air laut meningkat akibat memanasnya perairan bebas dan laju mencair didaerah kutub. Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang (Rob) akan meningkat di daratan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Konsekuensi akhir dari pemanasan global adalah perubahan iklim secara global juga di berbagai penjuru di permukaan bumi ini.
Pengaturan Fisiologis dalam Merespon Pemanasan Global
Temperatur lingkungan membatasi penyebaran kehidupan organisma / hewan dan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan aktivitas organisma/hewan. Kisaran temperatur pada permukaan bumi adalah lebih besar dibanding kisaran temperatur di dalam perairan ( Proser 1991). Sebagai contoh, kisaran temperatur udara berkisar dari -70°C pada daerah kutub sampai + 85°C pada gurun pasir yang panas, sedangkan temperatur air berkisar antara -1,82°C di laut Kutub utara dan Selatan dibanding + 30°C pada permukaan air daerah tropis. Pada umunya aktivitas hidup hewan terjadi pada kisaran temperatur -0°C sampai 40°C; kebanyakan hewan hidup dalam kisaran yang lebih sempirt lagi. Beberapa hewan dapat menjadi dorman (tidur) dan hidup baik dalam keadaan tidak aktif dibawah 0°C atau diatas 40°C. Sebagian lagi hewan dapat hidup keadaan membeku dan sebagian lagi dapat hidup pada sumber air panas dengan suhu +70°C. Kehidupan bakteri telah dilaporkan dari laut dalam pada suhu +250°C dibawah tekanan tetapi pertumbuhan berhenti diatas 150°C.
Terdapatnya keragaman dan fluktuasi temperatur di habitat tempat hewan hidup menyebabkan adanya perbedan proses fisiologis (metabolisme energi dan sistem endokrin) antara hewan untuk mengantisipasi perubahan -perubahan temperaur lingkungan dan perbedaan dalam pengelompok hewan berdasarkan thermofisiologis. Pengelompokkan hewan sebelum perkembangan ilmu fisiologi adalah kelompok hewan bergolongan darah dingin dan kelompok darah bergolongan darah panas. Istilah ini sudah lama ditinggalkan karena terlalu subjektip dan tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Klasifikasi lain berdasarkan perubahan temperatur tubuh individu hewan, jika hewan tersebut ditempatkan pada temperatur lingkungan yang berbeda dengan temperatur tubuhnya. Kelompok pertama disebut golongan hewan homeotherme , yaitu : hewan yang temperatur tubuhnya relatif konstan pada berbagai variasi temperatur lingkungan, sedangkan golongan kedua adalah hewan poikilotherme, yaitu : hewan yang temperatur tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua definisi ini sekarang sudah kurang digunakan karena kedua istilah ini tidak menjelaskan mekanisme pertukaran energi kalori. Temperatur tubuh suatu hewan adalah hasil resultante dari pertambahan dan pertukaran panas. Para pakar fisiologi sekarang lebih suka membedakan kelompok hewan dengan istilah ekstoterm dan endoterm ( Robertshaw, 2004). Hewan ekstoterm adalah hewan yang temperatur tubuhnya bergantung sepenuhnya kepada panas yang berasal dari lingkungannya, memperlihatkan metabolisme sedikit aktip, dan konduksi panasnha tinggi (isolasinya jelek terhadap pengaruh lingkungannya). Sedangkan hewan endoterm merupakan hewan yang produksi panasnya oleh metabolisme (terutama oksidasi) adalah tinggi, isolasi panasnya cukup, dan temperatur tubuh individu bergantung kepada produksi panas yang dihasilkan tubuhnya sendiri.
Pada kedua kelompok hewan , ekstoterm dan endoterm, Respon fisiologis terhadap perubahan –perubahan lingkungan, termasuk pemanasan global adalah dengan cara pengaturan prosess faal ( fungsi pengaturan fisiologis) melalui proses : (1) pengaturan lingkungan internal ( tubuh ternak) yang konstan meskipun terjadi perubahan lingkungan eksternal, (2) konformasi yaitu menyesuaikan diri sampai batas tertentu dengan perubahan lingkungan eksternal dan (3) menghindar ( avoidance), yaitu suatu usaha untuk menghindar dari perubahan temperatur lingkungan dengan jalan meninggalkan habitat di mana terjadi perubahan temperatur lingkungan menuju ke tempat yang lebih ideal bagi kelangsungan hidupnya. Respon fisiologis ini didasarkan kepada hewan harus mempertahankan kesimbangan panas tubuh ( homeostasis) antara produksi panas ( termogenesis) dan pengeluaran panas ( Termolisis) (Robershaw, 2004).
Respon fisiologis juga sangat dipengaruhi oleh skala ( scales) . Apakah skala spasial atau bersifat temporal. Pada level temporal jika perubahan temperatur lingkungan terjadi secara akut, biasanya responnya relatif cepat terhadap pemanasan global. Lama waktunya terjadi sangat singkat ( beberapa menit atau jam) dan biasanya tidak berhubungan dengan perubahan frekuensi gen. Jika pemanasan global menyebabkan perubahan fenotipe, maka biasanya terjadi jika ada interaksi dengan lingkungan dalam waktu yang lama ( beberapa hari sampai minggu). Pada kondisi ini terjadi proses aklimatisasi atau aklimasi. Prosesnya bisa terjadi reversible, kecuali antar tahap –tahap kehidupan. Pemanasan global yang menyebabkan perubahan pada frekuensi gen, dalam hal ini terjadi perubahan genotipfe maupun fenotip suatu organisma . Skala waktunya bisa terjadi dalam antar generasi dan tidak terjadi reversible.
Seperti pada hewan endoterm lainnya, ternak ruminansia ( sapi, kerbau, kambing dan domba) harus menjaga temperatur tubuhnya dalam satu interval yang relatif sempit, yang mana produksi panas dihasilkan tubuhnya dan kondisi termik lingkungannya sangat dekat. Kondisi tersebut sangat penting untuk melaksanakan fungsi fisiologis dan keseluruhan reaksi metabolik pada tingkat seluler berjalan pada kondisi yang normal ( Morand-Fehr & Doreau, 2001).
Energi panas yang dihasilkan ( termogenesis ) dan energi panas yang dipakai dalam tubuh ( termolisis) akan selalu konstan dan ada dalam keseimbangan yang dinamik. Keseimbangan dapat digambarkan dengan persamaan berikut:
HT - W = ±HC ± HR + HE ± WS
dimana :
HT = Produksi panas metabolisme
W = Energi panas untuk kerja eksternal
HC = Pertukaran panas melalui konduksi dan konveksi
HR = Pertukaran panas melalui radiasi
HE = Kehilangan panas melalui evaporasi
WS = Panas yang disimpan dalam tubuh
Hewan-hewan yang memperlihatkan suatu termoregulasi yang baik (seperti unggas dan mamalia) mempunyai mekanisme yang dapat menyesuaikan termogenesis dan termolisis pada kondisi suatu lingkungan.
Pada suatu interval temperatur lingkungan yang cukup lebar dan biasanya dibawah temperatur tubuh , yang disebut zona homeothermi, produksi panas ( termogenesis) ada dalam keseimbangan dengan kehilangan panas ( termolisis) ( Gambar 1). Pada zona homeotermi, untuk satu pencernaan tertentu, terdapat satu interval temperatur dimana produksi panas sangat minimal, dan disebut zona netral ( termonetral) yang merupakan zona yang nyaman bagi kehidupan ternak. ( Morand-Fehr & Doreau, 2001).
Gambar 1: Skema evolusi termolisis ( garis terputus-putus) dan termogenesis dengan temperatur lingkungan. . Kurva termogenesis berdampingan panas seekor ternak berdasqarkan temperatur lingkungan |
Zona temperatur netral atau zona termonetral (ZTN) adalah zona yang relatif terbatas dari temperatur lingkungan yang efektif dalam memproduksi panas minimal dari ternak (Curtis, 1999). ZTN disebut juga profil termonetral atau zona nyaman atau zona termopreferendum (Yousef, 1984). Pada zona ini, tidak ada perubahan dalam produksi panas dan temperatur tubuh dapat dikontrol oleh adanya perubahan kecil dalam konduksi ternak melalui variasi tubuh, aliran darah dari pusat ke periferi atau peningkatan keringat (Sturkie, 1981).
Pada temperatur di bawah ZTN, ternak akan meminimalkan semua jalur pengeluaran panas dan meningkatkan produksi panas. Pada temperatur di atas ZTN ternak akan memaksimalkan pengeluaran panas (Yousef, 1984).
Pertukaran Panas Antara Ternak dengan Lingkungannya
Seperti sifat-sifat fisik lainnya ,panas berpindah berdasarkan perbedaan konsentrasi, daerah dimana dia berpindah dari daerah panas kedaerah dingin. Beberapa cara perpindahan panas dapat terjadi antara dua obyek yang berbeda temperaturnya (Gambar 3). Perpindahan panas dapat berlangsung secara radiasi, konveksi, konduksi (ketiga proses disebut perindahan panas sensible/ non evaporasi) dan melalaui evaporasi (perpindahan panas insensible. Pengaliran panas dari permukaan tubuh ke lingkungan sekitarnya dapat berlangsung dengan cara: (1) konduksi panas melewati rambut /bulu penutup dan lapisan tipis yang menyelaputi tubuh (boundary layer), (2) konveksi panas melewati “boundary layer” terjadi karena adanya pergerakan udara atau angin, (3) radiasi panas dari ujung-ujung rambut/bulu melewati boundary layer dan (4 ) evaporasi air yang terkandung dalam udara. Sebagai contoh pertukaran panas melalui radiasi melibatkan transfer panas melalui gelombang magnetik, dalam lingkungan alamiah, baik transfer panas melalui spektrum cahaya infra merah maupun spektrum cahaya yang bisa dilihat (visibel). Gambar 3 memperlihatkan panas yang berasal dari matahari terpecah oleh awan dan debu di atmosfir atau direfleksikan kembali oleh tanah. Sejumlah panas yang diserap kulit akan bergantung kepada warna bulu atau kulit ternak. Pada umumnya. Panas diperoleh ternak dalam bentuk spektrum cahaya visibel dan hilang dalam bagian spektrum infra merah. Menurut Robertshaw ( 2004), pada suatu pertukaran panas radiasi lingkungan, besaran pertukaran panas oleh ternak adalah perolehan panas dari metabolisme: 15% dan dari absobsi cahaya radiasi : 85%, sedangkan kehilangan panas dari re-radiasi : 67 %, konveksi: 9% dan dari evaporasi : 24 %
Gambar 2: Jalur transfer panas dari seekor ternak kuda yang dipaparkan terhadap lingkungan outdoor.
Jika temperatur lingkungan meningkat, panas diperoleh ternak melalui lingkungannya dalam bentuk radiasi ( penyinaran matahari), konveksi ( pertukaran dengan udara) dan konduksi ( pertukaran dengan permukaan tanah), jika temperatur udara dan tanah lebih tinggi dari temperatur kulit (tubuh). Kehilangan panas juga dapat melalui evaporasi, radiasi, konduksi dan konveksi. Evaporasi terjadi pada tingkat kulit atau pertukaran pada proses respirasi
Dampak Pemanasan Global
Dampak Umum Terhadap Peternakan
Timbulnya pemanasan global di permukaan bumi akan mempengaruhi semua komponen lingkungan, baik abiotik ( faktor fisik dan kimia) maupun biotik ( semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan seksual.
Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis (Yousef, 1984). Komponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban (Yousef, 1984 ; Chantalakhana dan Skunmun, 2002), curah hujan (Chantalakhana dan Skunmun, 2002), angin dan radiasi matahari (Yousef, 1984 ; Cole and Brander, 1986).
Perubahan temperatur lingkungan mempengaruhi produksi ternak melalu empat cara: (a) dampak terhadap perubahan ketersedian dan harga bahan pakan ( biji-bijian, tepung ikan dll) , dampaknya terhadap produksi dan kualitas padang rumput dan hijauan makanan ternak, perubahan dalam distribusi hama dan penyakit ternak dan pengaruh langsung dari cuaca dan temperatur ekstrim terhadap kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternk. ( Smith et al 1996). Pengaruh peningkatan temperatur lingkungan bukan hanya berdampak secara tunggal, akan tetapi dapat mempunyai multiefek terhadap faktor abiotik lainnya, seperti radiasi, kelembaban, angin , dan faktor lainnya. Hal ini menyebabkan kesukaran dalam mengukur parameter dan menganalisis data hasil – hasil penelitian tentang pemanasan global di lapangan .
Pengaruh tidak langsung dari perubahan temperatur lingkungan pada performans ternak terutama mengahasilkan perubahan kualitas dan kuantitas nutrisi pakan ternak. Hasil penelitian menduga bahwa perubahan dalam iklim akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas jiauan makanan ternak yang dihasilkan, (Top & Doyle 1996a. 1996b). Dampak pemanasan global terhadap pasture dan padang penggembalaan termasuk penurunan kualitas pasture / padang penggembalaan yang diindikasikan dengan tingginya serat kasar, ADF, NDF dan selulase serta rumput akan lebih cepat menua. Konsekuensinya produktivitas padang rumput menurun. Dampak tidak langsung lainya, dapat menyebarkan penyakit dan parasit kedaerah baru atau menghasilkan peningkatan wabah penyakit yang akhirnya akan mengurangi produktivitas ternak bahkan kematian ternak (Valtorta, 2003).
Dampak terhadap Proses Fisiologis
Pada prinsipnya peningkatan temperatur tubuh akibat peningkatan temperatur lingkungan akan mempengaruhi dua faktor, yaitu kecepatan reaksi kimia dalam tubuh dan peningkatan aktivitas enzimatik. ( Proser 1991, Rieutort, 1986). Temperatur merupakan salah satu ukuran dari agitasi molekul yag mengontrol tingkat reaksi molekuler dan salah satu faktor yang membatasi pelepasan energi dan pertumbuhan organisma. Bila terjadi peningkatan temperatur lingkungan maka akan menyebabkan perubahan terhadap temperatur tubuh yang akhirnya mempengaruhi kecepatan reaksi biokimia dalam tubuh ternak tersebut, sehingga temperatur dari suatu sistem kimia meningkat, kecepatan reaksi akan meningkat juga. Untuk membandingkan pengaruh temperatur terhadap berbagai system, suatu koefisien termik telah didefinisikan dan disebut "Q10". Q10 adalah suatu faktor dimana kecepatan reaksi ditingkatkan ketika temperatur naik 10 °C
V2
Q10 = ----
V1
V2 = kecepatan reaksi pada temperatur t2 = (t1+10) oC.
V1 = kecepatan reaksi pada temperatur t1 oC.
Dari rumus diatas maka diperoleh :
(T2 - T1)
V2 = V1 Q10 --------
10
. Sebagian besar reaksi metabolisme, mempunyai nilai Q10 berkisar antara 2 - 3. Koefisien ini bervariasi dengan temperatur, tetapi pada nilai- nilai temperatur dimana reksi biologis terjadi, variasinya sangat rendah. Q10 dari beberapa reaksi biologis adalah tidak konstan melebihi kisaran temperatur normal dan Q10 adalah lebih besar pada kisaran temperatur rendah dibanding kisara tinggi. Oleh karena itu, kisaran untuk Q10 yang dihitung harus spesifik. Sifat-sifat fisik suatu larutan kurang dipengaruhi oleh perubahan suhu dibanding reaksi yang dikatalisir.
Reaksi eksponensial (Gambar 1), berasal dari perlunya termoregulasi dari sejumlah hewan, : ketergantungan yang tinggi dari metabolisme terhadap temperatur eksterna didapatkan dari ternak dalam situasi dimana kebutuhan zat-zat makanan sangat meningkat. Sebaliknya, perlambatan metabolisme dapat menyebabkan kecepatan reaksi tidak lagi tergantung kepada temperatur, misalnya pada kondisi daerah dingin
|
Gambar 1: Hubungan antar kecepatan reaksi dan temperatur pada reaksi-reaksi biologis yang mempunyai nilai Q10 = 2 .
Peningkatan kritis suatu energi dari aktivitas suatu reaksi dinyatakan oleh konstanta Arehrnius µ atau Ea
V2
µ = RT ln -- (T2 - T1)
V1
dimana V2 dan V1 adalah kecepatan konstan (proporsional terhadap kecepatan yang iukur) pada temperatur absolut T1 dan T2 dan R adalah kontanta gas universal (1,98 cal/mol). Jika logaritma sebuah kecepatan diplotkan terhadap temperatur absolut, umunya proses biologis memberikan sebuah garis lurus, dengan tingkat kemiringan adalah - µ/2,3RR atau -µ/4,6 m. Hubungan ini membawa kesimpulan bahwa jumlah molekul yang melebihi energi kritis akan dobel untuk peningkatan temperatur 10 oC , meskipun ada perubahan kinetik, proporsional terhadap temperatur absolut, adalah kurang.
Kecepatan suatu organisme menkonsumsi energi kimia bervariasi berdasarkan temperaturnya. Berbagai reaksi metabolik akibatnya dipengaruhi oleh temperatur dimana reaksi itu berjalan. Temperatur optimal dari fungsi suatu enzim adalah berinteraksi dengan efektivitas lebih besar dengan subtratnya pada satu konsentrasi fisiologis. (Gambar2 ). Sifat-sifat kinetik dari enzim terutama peka terhadap temperatur, kerapuhan ikatan yang lemah (ikatan hidrogen, interaksi hydrophobe, kekuatan Van der Waals) yang menstabilisasikan struktur tridimensionnalnya.
|
Pengaruh-pengaruh variasi temperatur juga peka terhadap berbagai kemungkinan penyesuaian aktivitas enzimatik (interkonversi antara bentuk aktif dan tidak aktif, interaksi allosterik, variasi kecepatan sintesa). Intensitas penggunaan energi oleh suatu organisme tidak hanya bergantung kepada temperatur interna, tetapi juga kesediaan substrat dan ketika penyediaan pakan menjadi tidak cukup, salah satu kemungkinan adaptasi adalah penurunan temperatur tubuh yang membatasi aktivitas enzimatik dan penggunaan substrat.
Ternak yang mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell, 1972). Stres panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan pengurangan laju metabolik selama stres panas. Selain itu, selama stres panas konsentrasi prolaktin meningkat dan diduga meningkatkan metabolisme air dan elektrolit. Hal ini akan mempengaruhi hormon aldosteron yang berhubungan dengan metabolisme elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stres panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosteron (Anderson, et al. 1985).
Dampak Terhadap Reproduksi Ternak
Tingginya temperatur lingkungan akan menyebabkan cekaman panas ( heat shock) dan akan lebih diperparah lagi dampaknya bila kelembaban udara tinggi sehingga dapat menyebabkan penurunan tingkat kebuntingan pada sapi betina ( Sprot et al., 2001. Ingraham et al 1974. memperlihatkan bahwa tingkat kebuntingan sppi perah menurun dari 55 samapi 10 % bila indek tempertur – kelembaban ( THI) meningkat dari 70 -84. Rataan temperatur harian dan kelembababan relatf digunakan untuk menghitung THI (Amundson 2006) dengan rumus sebagai berikut; ; THI = 90,8 x temperatur)+[(% kelembaban raltif / 100) x (temperatur – 14,4)] + 46,4 Cekaman panas juga menyebabkan lambatnya pubertas pada sapi dara, tidak timbulnya berahi pada sapi induk, menekan aktivitas berahi, meneybabkan aborsi dan meningkatkan kematian anak sebelum disapih ( Vincent 1972) .Terdpat hubungan negatif antara THI dengan tingkat kebuntingan selama periode musim kawain (Amundson et al., 2006) hal ini mengindikasikan bahwa pada awal musim kawin sebaiknya dihindari tingginya kondisi THI untuk meningkatkan performan reproduksi dalam hal ini meningkat tingakt pembuahan selama musim kawin.
Penuruann fertilitas terutama disebabkan oleh naiknya temperatur tubuh yang mempengaruhi fungsi ovarium, ekspresi berahi, kesehatan oosit dan perkembangan embruio (Biggers et., 1987; Lucy, 2002). Alasan lain untuk gangguan performans reproduksi pada sapi selama temperatur lingkungan naik termasuk penurunan intensitas berahi, gagalnya ovulasi, kekurangan implantasi, disintegrasi embrio dan aborsi fetus ( West, 2002). Peningkatan temperatur udara, indek temperatur – kelembaban dan meningkatnya temperatur rektum diatas nilai ambang kritis berkaitan dengan penurunan konsumsi bahan kering, produksi susu dan mengurangi efisiensi produksi susu ( weiss, 2003).
Perlu dicatat bahwa dampak negatif pemanasan global bukan hanya terjadi pada sapi betina, tetapi juga dapat mempengaruhi performans reproduksi jantan. dan melaporkan bahwa meningkatnya temperatur tubuh akibat naiknya temperatur lingkungan menurunkan kualitas semen selama 8 minggu setelah pejantan medapat perlakuan cekaman panas (Meyyerhoffer et al.,1985) dan menurunkan motilitas spermatozoa sapi, tetapi pengaruh genetik ( bangsa sapi) bukan faktor penting yang menentukan kualitas sperma yang dieyakulasikan setelah mendapat cekaman panas. (Chandolia, et al., 1999)
Pada tingkat embrio, pengaruh cekaman panas terhadap perkembangan embrio, mengurangi jumlah embrio tahap dua sel dan empat – delapan sel, tetapi tidak mempengaruhi perkembangan morula yang sedang tumbuh (Edward & Hansen, 1997) . Selanjutanya perkembangan Oosit yang dibuahi menjadi embrio tahap dua sel tidak dipengaruhi cekaman panas, sebaliknya cekaman panas berpengaruh nyata terhadap perkembangan embrio dua sel menjadi tahap blastosis. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh meningkatnya temperature terhadap perkembangan embrio lebih nyata menghambat pada embryo sapi tahap dua sel disbanding pada tahap morulla. Kemampuan tahap awal embrio untuk menahan penyimpangan dalam tingginya temperature merupakan hasil perkembangan . Kemampuan yang berhubungan dengan perkembangan embrio dalam mentoleransi cekaman panas adalah kapasitas memproduksi molekul-molekul yang terlibat dalam perlindungan terhadap panas ( temperature) seperti heat shock protein (hsp) ( Neuer et al., 1999) atau antiseluler ( Arechiga et al., 1955) . Protein hsp merupakan protein yang muncul setelah sel mengalami cekaman panas dan berfungsi menjamin suatu perlindungan terhadap sel bila terjadi cekaman panas berikutnya dan induksi cekaman lainnya. ( David & Grongnet, 2001). Terdapat tiga famili hsp berdasarkan ukuran berat molekunya, yaitu : 27 kDa, 70 kDa dan 90 kDa . Kawarsky dan King ( 2001) dalam mengidentikasi dan melokalisasi hsp 70 pada kultur oosit dan embryo sapi melalui teknik RT-PCR memperlihatkan bahwa ekspresi hsp 70 mRNA dibawah kontrol cekaman panas dan embrio tahap awal dapat merespon cekaman panas dengan munculnya hsp70 mRNA dan distribusi hsp 70 dalam plasma sel oosit dan oosit belum matang tidak dipengaruhi oleh pemaparan peningkatan temperatur. Protein ini berhubungan erat dengan pembentukan benang chromatin meiotik yang menunjukkan pernnya dalam menstabilkan struktur sel. Pada embrio tahap 8 sel dan seterusnya dibawah kontrol kondisi cekaman panas, hsp 70 terutama berdistribusi dalam sitoplasma yang kelihatanya dalam bentuk agregat pada beberapa embrio yang mendapat pemaparan peningkatan suhu.
Namun demikian, respon perkembangan embrio terhadap cekaman panas ini berbeda-beda menurut bangsa sapi. Embrio yang berasal dari betina sapi Brahman ( Bos Indicus) lebih resisten terhadap cekaman panas disbanding embrio sapi Holsetein atau Angus ( Bos Taurus) (Paula-Lopes, et al 2003). Perbedaan genetic ini juga diperlihatkan pada termotoleransi untuk respon apoptosis ( dalam limposit) terhadap cekaman panas, dimana sapi Brahman lebih resisten terhadap cekaman panas disbanding sapi Holstein atau Angus. Hal ini membuktikan bahwa sapi-sapi bos indicus mempunyai fertilitas yang tinggi bila dipelihara pada daerah yang lebih panas.
Dampak terhadap Konsumsi Pakan
Pengaruh temperatur lingkungan tinggi dijabarkan oleh konsumsi bahan kering menurun, sedangkan konsumsi air meningkat. Rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia merupakan salah satu cara utama untuk beradaptasi terhadap temperatur lingkungan tinggi, akan tetapi pada umumnya disusul dengan penurunan performan produksi ( Morand-Fehr & Doreau, 2001). Peningkatan sedikit daya cerna ketika temperatur tinggi tidak dapat menghindar dari kekurangan energi. Namun jika ternak mempunyai genotif beradaptasi baik dengan jenis iklim tersebut, maka damapak terhadap konsumsi pakan dan performans reproduksi sangat terbatas. Besarnya penurunankonsumsi pakan pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan konsumsi air ( Tabel 1), tetapi besaran tersebut sangat beragam antara percobaan sau dengan lainnya.. Kelihatnnya bahwa pada kasus cekaman panas terbatas, ternak cenderung meningkatkan konsumsi airnya berbarengan dengan sedikit peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi.
Tabel 1 : Keragaman konsumsi pakan pada ternak ruminansia yang mengalami cekaman panas
Jenis Ternak | Kondisi Lamanya | Keragaman Temperatur Min Maks | Jenis Pakan Yang dimakan | Keragaman Konsumsi |
Sapi Jantan Lokal muda 15 bulan | Terkontrol | 21,5 38,8 | Hijauqan Konsentrat | - 40 % - 60 % |
Sapi Jantan India | Terkontrol 7 hari | 18,5 37 | Bhn Kering Air | - 30 % + 60 % |
Sapi Brahman | Terkonrol 21 hari | 22 33 | Bhn Kering Air | - 6 % + 12 % |
Jantan Muda FH 300 kg | Terkontrol | 18 32 | Hay Luzerne Air | - 4 % + 500 % |
Kambing Liar Australia | Terkontrol 2 minggu | 25 45 | Bahan Kering Air | - 64 % + 160% |
Kambing Saanen Brazil | Terkontrol 8 hari | 26 38 | Bahan Kering Air | -1 % + 93 % |
Selama cekaman panas, sapi perah betina mengurangi konsumsi, menurunkan aktivitasnya, mencari naungan dan angin, meningkatkan laju pernapasan dan meningkatnya aliran darah perifer dan berkeringat. Respon ini mempunyai dampak negative baik untuk produksi dan status fisiologis (McDowel, 1972).
Sapi-sapi yang diberi makan adlibitum (tak terbatas) pada lingkungan temperatur nyaman, diberi makan adlibitum pada temperatur lingkungan tinggi, atau diberi makan secara terbatas pada temperatur lingkungan nyaman, memperlihatkan bahwa aliran darah kelenjar mamaenya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang diberi makan adlibitum pada temperatur nyaman., hal ini diduga aliran darah kelenjar mamae merespon terhadap konsumsi bahan kering. ( Lough et al 1990). Aliran plasma portal berkurang sekitar 14 % pada sapi –sapi yang diberi makan secara terbatas pada temperature nyaman atau sapi pada ltemperatur cekaman panas bila dibandingkan dengan sapi-sapi yang diberi makan adlibitum pada temperature nyaman. ( McGuire et al , 1989). Dapat disimpulkan bahwa bagian dampak negatif cekaman panas terhadap produksi susu dapat dijelqskan dengan penurunan konsumsi pakan dan penurunan penyerpaan nutrisi oleh pembuluh darah porta alat pencernaa sapi. Aliran darah bergerak ke jaringan perifer untuk tujuan pendinginan yang dapat mengubah metabolisme dan berkontribusi terhadap produksi susu rendah selama cuaca panas.
Dampak terhadap Produksi susu
Perubahan volume dan komposisi susu
Daerah yang cocok untuk produksi susu sapi perah berkisar antara 5°C sampai 25°C dengan kelembaban relatif antara 50% sampai 70%, sedangkan suhu yang optimal adalah 10°C. . Daerah yang cocok ini mempunyai kisaran suhu dimana produksi maksimal dapat dicapai, tetapi tidak perlu lebih efisien. Pada umunya, sapi perah yang mengalami cekaman panas , konsumsi pakannya menurun dan pada waktu bersamaan produksi susunya ikut menurun.. Volume susu yang disekresikan oleh bangsa sapi Eropah (Bos taurus) nyata menurun pada suhu diatas 210 C. Sedangkan sapi Brahman, yang mempunyai rataan produksi harian relatip lebih rendah pada suhu optimal, tidak dipengaruhi oleh suhu yang tinggi. Komposisi susu sapi juga ikut berubah selama cekaman panas. Sekresi lemak susu menurun, tetapi hal ini kelihatanya tidak berhubungan dengan sekresi cairan susu karena konsentrasi lemak dalam susu sangat beragam sesuai dengan bangsa sapinya. Kandungan asam-asam lemak susu juga berubah selama cekaman panas, asam-asam lemak rantai pendek menjadi kurang dominan, sedangkan asam-asam lemak rantai panjang lebih mendominasi. Proporsi asam-asam lemak jenuh rantai panjang menjadi lebih banyak dan proporsi asam-asam lemak tidak jenuh menjadi lebih sedikit. Sekresi laktosa susu menurun dan konsentrasi laktosa dalam susu menurun perlahan. Sekresi protein susu dan konsentrasi protein dalam susu juga menurun Konsenstrasi asam sitrat, kalsium dan kalium pada susu sapi menurun dan konsentrasi kalium pada susu domba juga menurun. Osmolaritas susu sapi yang diberi perlakuan cekaman panas 30°C dengan pemberian air minum bebas adalah normal, akan tetapi pada domba yang diberi cekaman panas dan mempunyai suhu rektum tinggi, osmolaritas susunya dibawah normal.
Sapi-sapi perah berproduksi rendah mempunyai toleransi pada suhu yang lebih tinggi dibanding sapi perah berproduksi tinggi, tetapi terdapat perbedaan bangsa yang peka terhadap panas atau dingin (Tabel 1)
Tabel 1: Pengaruh suhu lingkungan terhadap produksi susu dan konsumsi pakan pada berbagai bangsa sapi .
Bangsa | P r o d u k s i S u s u | K o n s u m s i P a k a n |
Sapi | 10°C -13°C 38°C Kg/hari (% produksi dibanding 10°C) | 10°C -13°C 38°C (Kg TDN per hari) (% dari suhu 10°C |
19 93 26 | 12 107 21 | |
Brown Swiss | 20 - 46 | 12 - 17 |
14 46 38 | 9 125 32 | |
Brahman | 3 - 89 | 5 137 63 |
Sumber: Johnson , 1990
Tabel 6.1 memperlihatkan bahwa gambaran pengaruh suhu rendah dan tinggi terhadap produksi susu pada empat bangsa sapi. Kebanyakan data ini didapatkan melalui pemberian perlakuan suhu udara berbeda pada sapi perah betina hanya selama 2 minggu. Hasil penelitian dengan menggunakan sapi Holstein yang di pelihara pada suhu 18°C dan 29°C selama periode 9 minggu (Johnson et all, 1967) menunjukkan bahwa satu tahap penyesuaian didapatkan setelah 1,5 - 2 minggu diberi perlakuan panas. Jadi pada tabel 6.1 menggambarkan pengaruh keragaman jangka pendek faktor iklim , tetapi tidak memperlihatkan tahap aklimasi sempurna pada lingkungan yang berbeda.. Kelihatanya toleransi tinggi terhadap panas yang diperlihatkan oleh sapi Brahman merupakan pengaruh faktor genetik, tetapi juga mungkin disebabkan oleh produksi susunya yang rendah. Namun demikian, perbandingan data sapi Holstein dan Brown Swiss memperlihatkan bahwa ada kemungkinan menseleksi sapi dengan toleransi tinggi terhadap suhu tinggi pada bangsa sapi yang berproduksio susu tinggi.
Berkurangnya napsu makan dan konsumsi pakan pada lingkungan panas mengurangi ketersedian zat-zat nutrisi menuju ambing untuk sintesis protein. Suplai asam-asam lemak rantai pendek hasil fermentasi dalam rumen secara langsung dikurangi. Suplai glukosa dan asam amino juga menjadi berkurang, tetapi pengaruh lain cekaman panas terhadap katabolisma protein otot dan glukoneogenesis dalam tubuh merupakan tantangan yang potensil. Suplai asam-asam lemak rantai panjang ke ambing juga menjadi dapat menjadi komplek akibat pengaruh cekaman panas dan ketidak mampuan katabolisme triglyserida pada jaringan adipose.
Hasil penelitian Talib, et al. (2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi perah di Indonesia menjadi 3,2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 oC, jika dibandingkan dengan kadar lemak susu 3,7 % pada temperatur lingkungan 18 – 20 oC. Demikian halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei and Hwang (2002), mendapatkan % lemak susu (3,58 ± 0,49), % protein susu (3,13 ± 0,11) dan % bahan padat bukan lemak (8,87 ± 0,41) dari susu pada sapi yang menderita stres panas dan hasil ini lebih rendah dibanding sapi yang tidak mengalami stres panas, namun kemudian diatasi dengan pemberian ransum dengan keseimbangan energi dan protein.
Dampak Terhadap Pertumbuhan
Lingkungan dengan suhu tinggi pada tahap prenatal sebelum anak sapi lahir dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus. Sapi -sapi bunting yang dipelihara pada musim panas tanpa naungan menghasilkan anak-anak sapi yang nyata mempunyai bobot badan lebih kecil. Induk sapi pada kelompok diberi naungan beratnya adalah 598 kg sedangkan pada kelompok tanpa naungan adalah 589 kg, serta anak sapi yang dilahirkan masing beratnya 39,7 vs 36,6 kg untuk tanpa naungan.
Pengaruh panas telah diteliti oleh Brown et al (1977) pada anak domba yang dipelihara pada kamar panas (38°C pada siang hari dan 28°C pada malam hari) selama 8 minggu dibanding pada kondisi ranch denga pemberian pakan normal dan kelompok lain dipelihara pada termonetral dengan pemberianpakan terbatas. Domba pada kamar panas mempunyai suhu rektum 40,2°C banding 38,8°C untuk kelompok lain dan mempunyai anak domba yang lebih kecil (pertumbuhan kerdil) akibat cekaman panas karena domba betina mempunyai level konsumsi pakan yang sama dengan kelompok di daerah termonetral.
Pada berbagai bangsa sapi, anak sapi yang baru disapih mempunyai tingkat pertumbuhan yang berbeda terhadap suhu kritis tertinggi, dimana kemampuan pertambahan bobot badan pada suhu lingkungan tinggi (27°C) dibanding suhu termo netral (10°C) urutanya adalah sebagai berikut: sapi Brahman, Jersey, Brown Swiss, Holstein, Santa Gertrudis dan Shorthorn (Tabel 2 ).
Tabel 2: Perbandingan pertambahan bobot badan dari enam bangsa sapi berbeda pada suhu lingkungan .
Bangsa sapi | Suhu udara | Berat umur 4 bulan (kg) | Berat umur 12 bulan (kg) | Total PBB selama 8 bulan (kg) | Perbedaan Pbb dari nilai 10°C (kg) |
Santa Gertrudis | 10 27 | 126,1 128,4 | 342,9 313,0 | 216,8 184,6 | -32,2 |
Brahman | 10 27 | 112,9 116,9 | 285,0 297,0 | 172,1 180,1 | + 8,0 |
Shorthorn | 10 27 | 93,0 73,9 | 298,5 209,1 | 201,9 135,2 | -66,7 |
10 27 | 103,5 95,3 | 333,3 302,7 | 229,8 207,4 | - 22,4 | |
Brown swiss | 10 27 | 72,2 89,0 | 303,3 310,2 | 229,1 221,2 | -7,9 |
10 27 | 65,5 56,7 | 210,0 197,3 | 144,5 140,6 | -3,9 |
Tingkat total pertambahan bobot badan adalah tertinggi pada kisaran termonetral jika tingkat konsumsi pakan adalah konstan. Karena tingkat akumulasi protein tidak berubah dengan suhu lingklungan jika konsumsi pakan konstan dan proporsi dari lemak dalam pertambhan bobot badan juga tertinggi pada kisaran termonetral.
Strategi Pengurangan Dampak Pemanasan Global
Berdasarkan uraian sebelumnya, bahwa dampak akhir pemansan global adalah cekaman panas , maka upaya – upaya yang perlu dilakukan adalah :
Bagi peternakan sapi perah yang perlu dilakukan memodifikasi lingkungan mikro peternakan sapi perah dengan cara memberi naungan , penganginan / penyemprotan air, perkandangan yang baik, dan penyediaan air pendingin
Memodifikasi genetik tenak, melalui seleksi sapi-sapi yang tahan terhadap cekaman panas dan/atau melakukan persilangan antara sapi yang kurang tahan terhadap cekaamn panas dengan yang tahan panas. Identifikasi gen-gen yang mengontrol karakter yang berhubungan dengan termotoleran yang memungkinan seleksi diarahkan untuk tahan terhadap cekaman panas tanpa sleksi yang bertentangan dengan produksi susu. Sebagai contoh karakter warna bulu, gen yang mengontrol panjang bulu, gen yang mengontrol resiten seluler terhadap cekaman panas.( proein cekaman panas)
Peningkatan kelangsungan hidup embrio melalui transfer embrio. Hal ini didasarkan kepada beberpa penelitian bahwa tingkat kematian embrio pada tahap dua sel lebih tinggi dibanding pada tahap berikutnya ( 8 sel, morula, dan blastula). Hal ini juga mengurangi kegagalan inseminasi buatan yang banyak dilakukan pada siang hari dan musim kemarau.
Manajemen pakan yang baik. Upaya yang dilakukan adalah pemberian pakan yang kaya energi pada ternak yang mengalami cekaman panas.
\
.
Daftar Pustaka
Amundson,J.L., T.L. Mader, R.J. Rasby and Q.S. Hu. Environmental effects on pregnancy rate in beef cattle. 2006
Biggers, B.G., R.D. Geisert, R.P. Wettemwn and D.S. Buchanan. . 1987. Effect of heat stress on early embryonic development in the beef cow. J.Anim Sci. 64:1512 -1518.
Edward, J.L. & P.J. Hansen, 1997. Differential Responses of Bovine Oocytes and
Preimplantation Embryos to Heat Shock. Molecular Reproduction and Development 46: 138 – 145.
Ingraham, R.H., D.D. Gillette, and W.C. Wagner. 1974. Relationship of temperature and humidity to conception rate in holestein cows in a subtropical climate. J.Dairy Sci. 57: 476-481.
Johnson, H.D. 1980. Environmental management of cattle to minimize the stress of climatic changes. Int. J. Biometeorol. 24: 65-78.
Liang Chou Hsia, 2002. How to Release Heat Stress from Dairy Cattle. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan , Taiwan , ROC.
Paula-Lopes, F.F., C. C. Chase, Jr2, Y. M. Al-Katanani, C. E. Krininger, R. M. Rivera1, S. Tekin, A. C. Majewski, O. M. Ocon, T. A. Olson and P. J. Hansen., 2003. Genetic divergence in cellular resistance to heat shock in cattle: differences between breeds developed in temperate versus hot climates in responses of preimplantation
embryos, reproductive tract tissues and lymphocytes to increased culture temperatures. Reproduction . 125, 285–294
Sprot L.R., G.E. Selk & D.A. Adams, 2001. Review. Factors affecting decisions on when to calve beef females. Prof. Anim Scientist 17: 238 – 246..
Topp, C.F.E., Doyle, C.J. 1996a. Simulating the impacts of global warming on milk and forage production in Scotland . 1. The effects on dry matter yield of grass and grass-white clover stands. Agricultural Systems 52, 213-242
42.Topp, C.F.E., Doyle, C.J. 1996b. Simulating the impacts of global warming on milk and forage production in Scotland . 2. The effects on milk yields and grazing management of dairy herds. Agricultural Systems 52, 243-270
Valtorta, S.E. 2007: Animal production in a changing climate: Impacts and mitigation
Lucy, M.C. 2002. Reproductive loss in farm animals during heat stress. Page 50-53 in Proc. 15th American Meteorological Society Biological Syatems and Aero Meeting.
Vincent, C.K, 1972. Effects of season and high environmrnal temperature on fertility in cattle: A review. J. Am. Vet.Med. Assoc. 161:1333-1338
West, J.W. 2002. Physiological effects of heat stress on production and reproduction. Pages 1 – 9 in Proc. Tri –State Dairy Nutr Confr Fort Wayne . IN.
West, J.W. 2003. Effects of Heat-Stress on Production in Dairy Cattle Journal of Dairy Science Vol. 86: 2131 – 2144.
Yousef, M.K. 1985. Stress Physiology in Livestock. Vol. 1 : Basic Principles. CRC Press, Inc. Boca Raton , Florida .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar