PENAJAMAN PROGRAM PENGEMBANGAN TERNAK RUMINANSIA POTONG KE ARAH SWASEMBADA DAGING[1]
Oleh : Herry Sonjaya
[1] Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya bidang peternakan Forum Kerjasama Delapan Perguruan Tinggi. 30 Sptember – 2 Oktober 2005. Kupang. NTT
Pendahuluan
Kebijakan program swasembada daging untuk ternak potong tahun 2005 merupakan program pembangunan peternakan yang dirumuskan pada tahun 2000 dan berakhir 2004. Salah satu visi pencapaian swasembada itu adalah haruslah mengandalkan sumberdaya lokal, dalam hal komoditi ternak adalah ternak potong lokal. Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan strategi sebagai berikut:
- Pengembangan wilayah berdasarkan komoditas ternak unggulan.
- Pengembangan kelembagaan petani peternak.
- Peningkatan usaha dan industri peternakan.
- Optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal
- Pengembangan kemitraan yang lebih luas dan saling menguntungkan
- Mengembangkan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan.
Sasaran utama dari enam program ini adalah peningkatan populasi ternak potong, khususnya ruminansia potong, penurunan impor sapi bakalan dan peningkatan pemotongan sapi local. Namun demikian , tidak ditemukan referensi yang menjelaskan ke enam program ini secara rinci.
Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengimplementasikan dan mendukung kelancaran pelaksanaan program , seperti program PUKATI , Inseminasi Buatan , Crop-livestock System (CLS) , bantuan modal untuk peternak kecil dan menengah, penyebaran pejantan-pejantan unggul ke berbagai propinsi dan pendirian Balai-balai Inseminasi Buatan Daerah dll . Namun keberhasilan dari program swasembada ruminasia potong tahun 2005 dapat dikatakan tidak berhasil berdasarkan criteria pencapaian sasaran utama program. Pada kenyataannya, populasi, ternak sapi potong terus menurun, impor sapi bakalan meningkat sepanjang tahun dan pemotongan sapi menurun. ( Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian LITBANG – DEPTAN, 2004). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa beberapa jenis ternak ruminansia potong andalan Indonesia , seperti sapi Bali, Kerbau Sumba , Domba Ekor Gemuk dll. cenderung menurun dan kalau tidak ada upaya – upaya pelestarian dan pengembangan akan mengarah ke kepunahan.
Pada tulisan ini, penulis akan mencoba membahas permasalahan - permasalahan yang menyebabkan ketidakberhasilan program swasembada daging dan mencoba memberikan penajaman untuk mengembangkan ternak ruminasia potong ke arah swasembada saging.
Kondisi Permasalahan di Lapangan
Peningkatan Populasi Ternak
Program peningkatan populasi yang telah dilakukan pemerintah melalui berbagai kegiatan antara lain: meningkatkan angka kelahiran dan impor ternak. Salah satu cara meningkatkan angka kelahiran adalah melalui penggendalian pemotongan sapi betina.. Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa pengendalian pemotongan betina sulit untuk dilakukan karena peternak rakyat relatif miskin, penjualan ternak merupakan sumber penghasilan. Pencegahan pemotongan hanya dapat dilakukan jika ada yang membeli untuk dipelihara lagi dan itu hanya mungkin oleh pemerintah Peningkatan angka kelahiran dapat juga dilakukan dengan meningkatkan jumlah kebuntingan pada ternak betina produktif, baik melalui intensifikasi program inseminasi buatan (IB) maupun mengimpor ternak betina yang telah dikawinkan.. Pelaksanaan peningkatan angka kebuntingan dan produktivitas melalui IB pada ternak sapi potong dan kerbau di lapangan menghadapi beberapa kendala (Tolihere 2004) , antara lain: (1) Sistem beternak sapi potong dan kerbau umunya ekstensif / liar digembalakan / dilepas di padang rumput luas atau di hutan, sehingga menyulitkan untuk pelaksanaan IB. (2). Sistem peternakan sapi potong dan kerbau bersifat tradisionil dan individual, sehingga sulit untuk diubah pola pikirnya untuk mengikuti sistem peternakan modern dan dihimpun dalam suatu sistem kerjasama kelompok atau organisasi sosial. (3). Penyediaan pakan ternak sangat tergantung kepada alam, dalam hal ini, pada waktu musim tertentu dimana kuantitas dan kualitas kurang baik akan berdampak negatif terhadap kondisi tubuh ternak dan akhirnya juga berdampak buruk terhadap aspek reproduksinya. (4). Inseminator yang mengelola IB pada sapi potong adalah umunya tenaga teknis yang kurang terlatih ( jam terbangnya rendah) dibanding inseminator pada sapi perah. (5). Saran dan prasarana yang belum memadai , seperti motor, akan menghambat kelancaran pelaksanaan IB. Pada beberapa daerah di Sulawesi, adanya usaha – usaha penggemukkan menyebabkan sapi dan kerbau jantan muda langsung dipelihara secara intensif atau diikat di bawah pohon sehingga kawanan sapi betina berahi yang digembalakan tidak bisa kawin secara alam dan hal ini menyebabkan jarak kelahiran panjang ( 2 – 3 kali beranak per 5 tahun ) dan tingkat kelahiran rendah ( Sonjaya dan Thamrin, 1996)
Impor sapi betina yang bertujuan menambah populasi betina produktif ternyata tidak mencapai sasarannya, karena setelah dipelihara oleh peternak sebagian besar sapi betina impor tersebut memperlihatkan gangguan reproduksi yang mengarah ke infertilitas sampai sterilitas. Impor ternak bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging berhasil menekan pemotongan sapi local pada beberapa daerah, tetapi berdampak negatif terhadap usaha penggemukkan sapi lokal, terutama peternak rakyat dan perusahaan peternakan serta pedagang antar pulau. Hal ini berdampak buruk terhadap usaha peternakan sapi lokal, Demikain juga , impor offal / jeroan sapi yang mencapai 90% dari total Bahan Asal Hewan (BAH) merupakan ancaman yang sangat besar bagi usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Harga offal impor yang murah saat ini digunakan untuk mensubstitusi daging yang pada akhirnya membuat harga daging sapi terdistorsi Dampaknya menciptakan kurang bergairahnya usaha peternakan ternak potong pada peternakan rakyat.
Pada proyek PUKATI yang bertujuan untuk mendistribusikan dan pengembangan ternak, khususnya sapi tidak banyak membantu peningkatan populasi , yang terjadi terjadi hanya perpindahan ternak antar kabupaten dalam satu propinsi atau perpindahan ternak antar propinsi dalam satu kawasan regional.
Berdirinya Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIB-D) pada awalnya adalah merespon kebijakan Pusat dalam rangka mendekatkan produsen semen dengan pengguna dalam memenuhi semen secara Tepat Waktu, Tepat Breed dan Tepat Jumlah (3T), sehingga diharapkan dapat meningkatkan jangkauan pelayanan IB kepada para peternak. Peran BIB-D belum mencapai target tujuannya secara optimal karena berbagai kendala teknis dan dukungan biaya operasional dari pemerintah daerah belum maksimal. Pejantan unggul sapi yang disebar ke beberapa BID-D tidak semuanya dapat bereproduksi, bahkan dalam proses pemeliharaannya ada beberapa yang mati. Demikian juga , beberapa pemerintah daerah langsung mengimpor kambing Boer untuk dijadikan sebagai pejantan unggul sumber semen cair atau beku, ternyata sebagian kambing Boer yang diimpor tersebut tidak lebih baik dari kambing pejantan lokal, sehingga peternak menolak kambingnya diinseminasi oleh semen kambing Boer ( Sonjaya et al, 2000). Namun demikian, permasalahan lain adalah belum dilakukannya untuk penggantian Bull, Bandot atau pejantan yang dipakai sekarang.
Peningkatan Produktivitas Ternak .
Peningkatan produktivitas ternak dicerminkan oleh peningkatan berat badan ternak sehingga produksi daging yang dihasilkannya pada umur yang sama lebih banyak. Produktivitas yang rendah pada ternak sapi lokal menyebabkan peternak merubah jenis ternak peliharaanya ke bangsa sapi impor atau persilangannya, karena keturunan sapi impor pada beberapa tempat mempunyai harga jual yang sangat tinggi dibanding sapi lokal.. Hal ini menyebabkan wilayah konsentrasi pembibitan ternak potong lokal tidak bisa mempertahankan kemurnian bangsa ternak lokalnya dan populasi ternak lokal semakin lama menurun populasinya. Peningkatan produktivitas yang dilakukan oleh pemerintah (melalui UPT Pusat-pusat Pembibitan) dan masyarakat peternak hanya dilakukan dengan perbaikan manajemen dan mutu ternak. Kedua cara ini tidak mungkin menghasilkan produktivitas ternak yang unggul dalam waktu yang singkat dan memerlukan diterapkan dalam beberapa tahun karena peningkatan produktivitas pada umumnya diharapkan dari turunan sapi berikutnya. Kendala lain , pusat – pusat pembibitan milik pemerintah dalam era ototnomi daerah banyak yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena adanya keterbatasan dana.
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Hijauan Makanan Ternak.
Bagi sebagian peternak di Kawasan Timur Indonesia dalam memelihara ternak ruminasia potong umumnya digembalakan secara ekstensif di padang penggembalaan, di sawah –sawah / kebun pada musim kemarau atau di hutan dan hanya sebagian kecil pemeliharaan ternak di lakukan secara intesif atau semi intensif. Hal ini menyebabkan produktivitas ternak sangat tergantung kepada alam dan program peningkatan ketersedian dan perbaikan mutu hijauan makanan ternak tidak berjalan lancar. Terjadinya penyempitan areal padang pengembalaan dan hutan akibat perubahan status tanah menjadi perkebunan coklat dll dan perumahan, menyebabkan peternak menjual sapinya dan dampaknya menurunkan populasi ternak. Program sistem integrasi padi-ternak (SIPT) yang bertujuan untuk peningkatan produksi ternak potong sekaligus peningkatan produksi pangan pada lahan tanaman pangan berigasi tidak berdampak positif terhadap peningkatan populasi dan produktivitas ternak ( Yusdja et al, 2004.).
Kesehatan Ternak
Program penanggulangan penyakit ternak ruminasia potong menurut pengamatan penulis di lapangan belum dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Peran karantina hewan dan instansi yang terkait terhadap ancaman datangnya penyakit menular, baik yang berasal dari luar negeri maupun antar pulau masih perlu ditingkatkan. Demikian juga kesadaran dan kewaspadaan peternak akan penyakit masih rendah, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bibit ternak yang dikrim atau didatangkan tanpa prosedur yang telah ditetapkan , yang penting harga bibit itu murah.
Rekomendasi Mempertajam Pengembangan Ternak Ruminasia Potong ke Arah Swasembada Daging
Peningkatan Populasi Ternak .
Peningkatan populasi ternak potong tetap harus dilakukan secara sinergi antara peningkatan angka kelahiran ternak dari populasi yang ada dengan impor ternak hidup dengan memperhatikan tingkat pengurasan ( penurunan ) ternak potong dan kemampuan produksi ternak potong dalam negeri. Untuk itu perlu dilakukan data dasar populasi ternak potong yang akurat dan aktual. Kajian struktur populasi yang tepat untuk setiap daerah sentra produksi ternak ruminansia perlu dilakukan untuk mengevaluasi dan memprediksi stok jumlah ternak yang ada berdasarkan umur, jenin kelamin, dan parameter-parameter penentu populasi . Tersedianya struktur populasi ternak potong yang akurat, misalnya sapi potong, dengan menggunakan software computer program simulasi populasi dapat digunakan untuk merancang kebijakan pengadaan impor sapi hidup atau daging , target sasaran tingkat kelahiran yang harus dicapai , dll.
Peningkatan angka kelahiran dapat dilakukan dengan pembaharuan sistem inseminasi buatan pada semua ternak ruminansia potong. Pelaksanaan IB harus memperhatikan jaminan mutu (quality assurance) dari bibit (semen ) pejantan unggul, sapi betina akseptor IB, sistem dan manajemen IB , kualitas inseminator dan partisipasi aktif dari peternak. Peran BIB-D sangat penting dalam menjamin mutu semen dari pejantan unggul yang dipelihara. Monitoring dan evaluasi terhadap kualitas kinerja BIB – D perlu terus dilakukan dan di akreditasi oleh tim pakar nasional independent. Proses pembuatan semen cair dan semen beku, selain mengikuti prosedur SNI juga perlu ditingkatkan dengan introduksi teknologi seksing (pemisahan ) sperma pembawa kromosom kelamin X dan Y. Peremajaan pejantan unggul dapat dilakukan dengan seleksi dari keturunan dengan menggunakan metode pemulian ternak atau langsung dilakukan transfer embrio dari pejantan dan betina asli untuk menghasilkan pejantan muda. Untuk ternak ruminansia kecil ( Domba dan Kambing) perlu seleksi bibit yang mempunyai tingkat prolifikasi yang tinggi, sehingga dengan jumlah anak yang banyak ( 2 – 3 ekor per satu kelahiran ) akan mempercepat peningkatan populasi. Sinkronisasi berahi pada ternak sapi potong dan kerbau melalui penggunaan hormonal ( PG F2α, preparat progesterone , GnRH dan kombinasinya) perlu diterapkan untuk mengatasi kesulitan deteksi estrus karena sistem pemeliharaan yang ektensif. IB mandiri perlu dilaksanakan pada kelompok ternak yang sudah maju. Sistem reward dan punishmen pada inseminator perlu diterapkan untuk memotivasi inseminator meningkatkan keahliannya dan menunjang kesejahteraan inseminator. Peningkatan karir inseminator berprestasi perlu ditingkatkan menjadi tenaga pemeriksa kebuntingan (PKB) dan Asisten Teknis Reproduksi) . Partisipasi dan pengetahuan peternak dalam program IB perlu ditingkatkan secara terus menerus.
Dari aspek kebijakan impor ternak terobosan yang dapat dilakukan antara lain : perbanyak impor bibit berkualitas untuk memperbaiki struktur populasi dan kualitas ruminansia potong , impor sapi bakalan untuk mencegah terjadinya percepatan pengurasan populasi sapi lokal, serta perlu dilakukan pembedaan prosedur impor daging dan jeroan, dan pengendalian volume importasinya mengingat terdistorsinya pasar daging dalam negeri. Dalam proses mendatangkan ternak impor harus tetap konsisten dilakukan dari negara yang dinyatakan bebas penyakit menular berbahaya oleh OIE (Office International Des Epizooties) untuk melindungi ternak potong lokal dari tertular penyakit tersebut.
Kebijakan impor sapi bakalan ternyata telah mulai memberikan dampak negatif bagi produksi dalam negeri. Namun demikian sisi positif dari impor sapi bakalan ini adalah pertama mengurangi pengurasan ternak di wilayah WSP dan pada sisi lain kebutuhan daging terpenuhi di WSK sehingga inflasi dapat ditekan. Oleh karena itu jumlah impor sapi bakalan harus mempertimbangkan tingkat pengurasan dan tingkat kemampuan produksi dalam negeri. Jumlah impr sapi bakalan pada angka lebih dari angka 400 ribu ekor di duga telah dapat mencegah pengurasan di WSP tetapi jumlah itu telah memberikan dampak terhadap banyak perusahaan perdagangan ternak antar pulau yang terpaksa harus menutup usahanya. Untuk menjawab berapa jumlah impor yang layak dari tahun ke tahun perlu penelitian tentang suplai dan permintaan dalam negeri terutama untuk WSP dan WSK untuk mendapatkan angka parameter yang lebih akurat.
Program Industri Ternak Ruminasia Potong.
Pembangunan peternakan masa mendatang sebaiknya tidak lagi focus pada usaha peternakan rakyat, tetapi sudah mulai menggunakan pendekatan industri sapi potong. Program pemerintah dulu yang berfokus pada usaha rakyat dengan program bantuan ternak, baik gratis maupun dana bergulir, menciptakan prilaku pengemis yang hanya ingin dibantu terus, tetapi tidak menumbuhkan jiwa kemandirian dan kewirausahaan. Dengan kata lain pemerintah harus meninggalkan cara-cara lama dalam pengembangan peternakan, seperti strategi dan program yang difokuskan pada usaha sapi potong rakyat. Ada dua cara yang saat ini dapat segera dilakukan yakni pertama pemerintah memfokuskan program-program pembangunan peternakan untuk meningkatkan kemampuan usaha ternak skala kecil (bukan usaha rakyat) yang bersifat komersil hingga skala menengah. Program-program pemerintah yang sekarang hampir diseluruh Indonesia fokus pada pembangunan usaha rakyat. Untuk itu, pemerintah daerah kabupaten dengan wilayah otonom diharapkan melakuan pendataan tentang keberadaan usaha penggemukan skala kecil dan skala menengah ini. Langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan pembangunan peternakan komersil di wilayahnya masing-masing dengan tetap memfungsikan instansi terkait sebagai fasilitator dengan memberikan bantuan teknis dan ekonomis. Secara nasional, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang kondusif seperti penyediaan pelayanan investasi yang cukup, memberikan porsi perhatian yang tinggi terhadap pembangunan peternakan.
.Peningkatan Produktivitas dan Pembibitan Ternak.
Masalah pembibitan untuk menghasilkan sapi bakalan tidak menarik investor karena ada cara yang lebih mudah yakni dengan mengimpor sapi bakalan. Sementara pembibitan yang dilakukan oleh peternakan rakyat mempunyai skala yang sangat kecil sehingga sulit diharapkan berkembang menjadi perusahaan pembibitan. Selain itu investasi untuk pembibitan membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif besar sementara resikonya tinggi. Atas dasar itu, untuk tujuan melestarikan dan mengembangkan potensi yang ada maka sebaiknya investasi usaha pembibitan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk BUMN atau pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta. Strategi ini diharapkan dapat mendorong investor lain di masa datang untuk mengembangkan pengembangan usaha pembibitan khususnya ternak ruminasia potong lokal , misalnya sapi Bali dan Madura. Sementara itu, usaha-usaha pembibitan yang ada saat ini harus dibina dan dikembangkan terutama usaha-usaha pembibitan yang berskala menengah. Dalam hal ini, Ranch Mini milik peternak dengan luasan 50 – 100 ha dan populasi sapi rataan 100 ekor, di berbagai daerah KTI, dapat dilibatkan dalam usaha pembibitan yang mengarah ke usaha bisnis ( Business oriented). Meningkatkan kemampuan perusahaan pembibit skala menengah ini dapat menjadi cikal bakal perusahaan pembibitan di masa datang paling tidak dapat membantu pengadaan sapi bakalan untuk kebutuhan di wilayah sentra produksi ternak potong (WSP).
Aplikasi bioteknologi dalam program pembibitan seyogyanya diterapkan dengan mengintroduksi teknik multiple ovulasi, koleksi dan transfer embrio ( MOET) ditindaklanjuti dengan pembekuan embrio untuk meningkatkan kualitas sapi donor yang bermutu genetii tinggi. Teknik koleksi dan pematangan oosit (OPU) dilanjutkan dengan produksi embrio secara invitro ( IVP) perlu juga mulai diaplikasikan di Balai Transfer Embrio atau Perguruan – perguruan Tinggi di kawasan Timur Indonesia . Oosit dapat berasal dari ovarium baik yang berasal dari ovarium ternak hidup maupun dari ovarium betina yang dipotong dari Rumah pemotongan Hewan. Penggunaan marka gen yang mencirikan karakter – karakter yang bernilai ekonomis dan potensil pada ternak lokal untuk peningkatan produkstivitas. Misalnya untuk peningkatan tingka ovulasi pada domba adalah BMP 15, GDF 9b, BMPRIB (McNatty et al , 2005) gen Booroola (FecB) ( Wheeler et al, 2003)
Pemasaran Produk Ternak Ruminansia Potong
Perdagangan ternak hidup tidak lagi menguntungkan karena terlalu banyak retribusi dan pungutan selama perjalanan dan resiko yang besar selama dalam perjalanan. Oleh karena itu, pada masa datang perdagangan ternak hidup di dalam negeri mungkin tidak layak lagi dan perlu digantikan dengan perdagangan daging beku atau perdagangan karkas. Untuk meningkatkan efisiensi dalam perdagagan ternak, maka adalah layak bagi pemerintah menyediakan RPH yang modern di WSP. Pembangunan RPH modern yang telah dilakukan pemerintah diberbagai propinsi ternyata tidak berjalan sebagaiman mestinya. Oleh karena itu untuk antisipasi masa depan, paling tidak RPH modern yang ada di WSP harus kembali dihidupkan untuk tujuan melayani pasar daging khususnya di WSK dengan memperbanyak outlet (meatshop) daging segar atau daging beku. Untuk keperluan perdagangan antar pulau dan antar propinsi perlu dilengkapi dengan mobil yang dilengkapi dengan alat pendingin atau box pendingin pada kapal laut. Perdagangan ternak hidup hanya dikhususkan untuk ternak bibit atau pesanan khusus untuk keperluan acara keagamaan, seperti ternak kurban.
Pengembangan Kuantitas dan Kualitas Hijauan Makanan Ternak.
Peningkatan kuantitas dan kualitas hijauan makanan ternak perlu dilakukan secara sinergi, program perbaikan padang pengembalaan melalui introduksi rumput dan legume unggul perlu ditindaklanjuti dengan bimbingan teknis manajemen penggembalaan ternak pada daerah-daerah yang lahan /areal padang pengembalaan masih cukup luas. Program ini dapat dipadukan dengan program pengembangan usaha pembibitan melalui pemberdayaan ranch –ranch mini.
Pada daerah tanaman pangan dan lahan beririgasi Proyek Usaha Penggemukan Berbasis Tanaman Pangan dapat dilanjutkan dengan melibatkan pemerintah daerah dan khususnya para penerima proyek. Pemerintah sebaiknya meninggalkan pendekatan ”top down” yang menganggap semua daerah penerima proyek adalah sama dan menggantikannya dengan pendekatan partisipatif. Selain itu program-program harus difokuskan pada WSP dan jumlahnya harus diperbesar sampai pada suatu ukuran yang dapat menjawab masalah produktivitas, populasi dan pendapatan peternak pada tingkat proyek. Jenis program usaha integrasi tanaman dan ternak untuk tujuan yang sama tidak perlu berbentuk sama, tetapi dapat dimodifikasi sesuai dengan potensi lahan dan budaya setempat .
Penelitian yang perlu dikembangkan untuk menunjang perbaikan ketersedian hijauan makanan ternak dan penggunaanya oleh ternak ruminasia potong, adalah: (1) Ketersediaan zat-zat nutrisi bagi haijauan makanan ternak, (2). Efisiensi pencernaan oleh mikroorganisma alat pencernaan dan (3). Interaksi antara zat nutrisi dengan jaringan pada tubuh ternak. (McSweeney & Makkar, 2003)
Arah Bentuk Struktur Industri Sapi Potong.
Peran usaha rakyat dalam produksi daging nasional secara bertahap akan terus menurun. Oleh karena itu, struktur industri harus dikembangkan diluar usaha rakyat dan tradisional saat ini. Usaha rakyat yang ada sekarang ini dapat dijadikan bumper untuk membangun industri peternakan dari skala kecil hingga mengalami pertumbuhan dalam jangka panjang. Hal yang perlu dilakukan untuk menggeser struktur produksi dari yang ada sekarang adalah peluang investasi yang lebih besar untuk usaha sapi potong dan menggerakan investasi untuk pengadaan pakan hijauan bagi penyelamatan industri sapi potong rakyat yang ada sekarang. Dengan menjadikan usaha rakyat yang ada sekarang menjadi bumper, maka industri peternakan modern dapat dimulai dengan segera tanpa harus kuatir menunggu produksi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri.
Kesehatan Ternak dan Keamanan Produk Ternak Ruminasia Potong.
Penerapan biosekuriti terhadap proses produksi ternak potong maupun ternak bibit perlu diterapkan secara berkesinambungan untuk menjamin tercapainya peningkatan produktivitas ternak dan keamanan produk ternak ruminansia potong yang akan dijual. Penyakit menular seperti anthrak, ngorok, PMK dan BSE perlu diwaspadai dengan memperketat masuknya ternak hidup dari luar maupun produk-produk peternakan lainnya. Surveillance penyakit pada daerah – daerah padat ternak perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk mendeteksi secara dini perubahan penyakit pada suatu populasi ternak dan mengambil tindakan pencegahan dan pengobatan secepat mungkin. Hal ini diperlukan bila Indonesia pada masa datang mau menjadi negara pengekspor ternak hidup atau produk ternak potong.
Penggunaan teknologi berbasis gen untuk kesehatan ternak juga sangat penting kontribusinya untuk : (1) interaksi induk semang – penyakit pathogen, (2). Diagnosa penyakit, (3) Epidemiologi molecular dan (4) pembuatan vaksin . Sebagai contoh diagnosa penyakit virus menggunakan teknik biologi molekuler berbasis pada PCR (polymerase chain reaction) yang tingkat ketelitiannya lebih tinggi disbanding teknik konvesional. (Pastoret, Barret & Dominngo, 2003).
Kesimpulan
- Pengembangan ternak ruminansia potong ke arah swasembada daging harus dilakukan dengan pendekatan holistic yang memperhatikan berbagai aspek teknis produksi dan reproduksi, kebijakan pemerintah , ekonomi dan partisipasi dari masyarakat peternak.
- Penerapan teknologi berbasis bioteknologi dalam aspek teknis produksi dan rproduksi dapat mempercepat penegembangan ternak ruminansia potong ke arah swasemda daging.
Daftar Pustaka;
Mozes, M.R. Kilas balik pelaksanaan inseminasi buatan di Indonesia . Prosiding Seminar Nasional Industri Peternakan Modern. Makassar . 21-22 juni. 2004. 2004.
McNatty, K.P., Galloway, S.M. Wilson, T. Smith, P., Hudson , N.L., O’Connell, Bibby, A.H. Heath, D.A. Davis , G.H., Hanrahan, J.P., & Juengel, J.L. 2005. Physiological effects of major genes affecting ovulation rates in sheep. Genet. Sel. Evol. 37: 25 – 38.
McSweeney, C.S & Makkar, H. 2003. Gene-based technologies apllied to plant, rumen microbes, and systems biology. In “ FAO / IAEA International symposium on Applications of Gene-based Technologies for Improving Animal Production and Health in Developing Countries”
Pastoret , P., Barret, H & Domingo E. 2003. Gene-based technologies apllied to pathogens and host-pathogens interactions. In “ FAO / IAEA International symposium on Applications of Gene-based Technologies for Improving Animal Production and Health in Developing Countries”
Sonjaya, H. & Idris, T. 1996. Kecenderungan perkembangan populasi sapi potong di Sulawesi Selatan. Forum Komunikasi Pimp[inan Perguruan Tinggi Peternakan se Indonesia. 9 – 10 Agustus 1996. UNHAS UjungPanang.
Sonjaya,H. Abustam, E. Ranggang,M, & Sariuang, M , 2000. Peningkatan Kualitas Kambing Lokal melalui Inseminasi Buatan dengan semen Kambing Boer. Laporan Penelitian Kerjasama IP2TP-Fapet UNHAS
Wheeler, M.B., Walters, E.M. & Clark, S.G. Transgenic animals in biomedicine and agriculture: outlook for the future. Anim Reprod Sci; 79: 265 – 289
Yusdja, Y., Sajuti, R., Suhartini, S H., Sadikin, I. , Winarso, B & Muslim, C. 2004. Pemantapan program dan Strategi kebijakan Produksi daging sapi. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian LITBANG – DEPTAN, 2004.
trimaksih bwat postingannya pak. smoga bisa bermanfaat bagi pengembangan potensi peternakan sapi yang ada di prov.NTT.
BalasHapus