Mengkaji Program Sejuta ekor sapi di Provinsi Sulawesi Selatan
Pendahuluan
Sulawesi Selatan pada tahun 1900-an merupakan salah satu sentra produksi ternak potong atau lumbung ternak sapi potong yang terbesar di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur. Populasi sapi pada periode tersebut mencapai 1.235.975 ekor pada tahun 1992, namun data Sensus Pertanian 1993 oleh Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa populasi ternak sapi potong di Sulawesi Selatan mengalami penurunan menjadi 643.250 ekor pada tahun 1993. Data hasil sensus ini , pada saat itu, banyak mendapat protes dari pihak instansi terkait, dengan alasan metode yang dipakai BPS menggunakan teknik sampling. Terlepas dari pro dan kontra data laporan populasi sapi potong versi BPS, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan pada tahun 2008 , program Gubernur Baru , telah mencanangkan Program Revitalisasi Inseminasi Buatan dalam rangka mencapai target populasi sapi potong di Sulawesi Selatan sebanyak satu juta ekor pada tahun 2013. Dengan populasi sebesar itu diharapkan Sulsel dapat mengekspor ternak hidup , baik sebagai ternak bibit maupun ternak potong, yang mana pasar masih terbuka lebar baik keluar negeri ( Malayasia, Brunai dan Arab Saudi) maupun untuk perdagangan antar pulau ( Kalimantan , Jawa).
Tiga faktor utama yang perlu diperhatikan dalam mengembalikan provinsi Sulsel sebagai lumbung ternak sapi potong. Pertama, bagaimana kondisi peternakan di Sulawesi Selatan , terutama mengenai berapa tingkat laju kenaikan populasi secara alamiah ( natural increase) , laju pemotongan ( jantan potong maupun betina ) , tingkat kelahiran alam maupun hasil kawin suntik ( inseminasi buatan ) , struktur populasi betina produktif, sehingga dapat diestimasi berapa sapi yang dapat diekspor setiap tahunnya dan sampai berapa kali Sulsel mampu mengkespor Faktor kedua yang perlu dipertimbangkan adalah luas geografi Sulsel tidak seperti Sulsel dulu sebelum tahun 2000-an, karena Provinsi Sulsel sudah dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Sulsel dan Sulbar sehingga daya dukung wilayah untuk peningkatan populasi sapi potong juga berkurang. Faktor terakhir, pada era otonomi daerah, telah terjadi penggabungan beberapa satuan kerja perangkat daerah atau SKPD di tingkat pemerintah kabupaten/kota merupakan kerangka efisiensi kelembagaan pembangunan di Sulawesi Selatan Namun demikian, pada beberapa kabupaten, penggabungan menjadi salah kaprah sehingga pembangunan peternakan yang difokuskan kepada percepatan peningkatan populasi ternak potong menjadi pudar dan tidak tentu arah. Perlu dilakukan pengkajian yang saksama dan arif ditinjau dari berbagai sudut pandang dan esensi dasar pembangunan itu sendiri, yaitu bahwa peternakan merupakan subsektor yang strategis dalam pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia (SDM).
Mengapa terjadi penurunan populasi sapi ??
Berdasarkan kajian populasi ternak selama lima terakhir, bahwa sasaran yang ditetapkan pada Renstra Pembangunan Peternakan 2003 – 2007 tidak tercapai, bahkan terjadi penurunan populasi untuk ternak sapi potong, kerbau , kuda dan ayam buras mengalami laju penurunan berkisar - 1,51 % sampai - 7,07 %, sedangkan untuk ternak kambing, domba, babi, ayam ras dan sapi perah mengalami peningkatan per tahunnya namun tidak memenuhi sasaran yang telah ditetapkan.
|
Pada awal tahun 1990-an Sulawesi Selatan pernah mencapai angka populasi 1,2 juta ekor dan menjadi pusat produsen bibit dan sapi yang menyuplai kebutuhan nasional, maka pada saat ini justru memperlihatkan trend yang menyedihkan. Memasuki tahun millenium jumlah populasi sapi hanya mencapai 718.164 ekor, tahun 2001 menjadi 722.452 ekor, dan tahun berikutnya cenderung menurun seperti pada tahun 2006 menjadi 637.128 ekor.
Faktor penyebab penurunan diatas telah dibuktikan dengan kajian data tingkat pemotongan tingkat pengeluaran sapi, tingkat pemasukkan dan tingkat kelahiran pada tahun 2005. Berdasarkan laporan, total populasi ternak sapi potong pada tahun 2005 adalah 594.316 ekor, jumlah betina dewasa sebanyak 237.726 ekor (diperkirakan 40%) dan 30 % akseptor kawin alam ~ 178.295 ekor dan tingkat kelahiran alami diperkirakan 20 %. Atas dasar itu telah diperoleh persentase pertambahan populasi ( pemasukan sapi, kelahiran baik hasil IB maupun kawin alam) mencapai 7, 42 % , sedangkan persentase pengurangan populasi ( pemotongan, pengeluaran ternak dan kematian) mencapai 13,29% sehingga laju penurunan populasi per tahun adalah – 4,59 %. Namun demikian, menurut Laporan Statistik Peternakan 2008, pada tahun 2006 jumlah populasi sapi sebanyak 637.128 ekor dengan persentase pertambahan populasi mencapai 26,32 % , sedangkan persentase pengurangan populasi mencapai 17% % sehingga terjadi laju kenaikkan populasi per tahun adalah 9,32 %. dan jumlah populasi tahun 2007 sebanyak 668.622 ekor. Perbedaan utama data diatas disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kelahiran, pada tahun 2005 tingkat kelahiran hanya dicapai 20% dari populasi betina , sedangkan pada tahun 2006 diperoleh 26,04 %. dari total populasi.
Data laju penurunan populasi (tahun 2005) diperparah dengan data tingkat pemotongan sapi betina produktif, yaitu tingkat pemotongan betina produktif di RPH : 39,22 % dan luar RPH : 44,57% dari total sapi yang dipotong atau sebesar 40,76 % dari total sapi yang dipotong. Data diatas menunjukkan bahwa faktor penentu berkurangnya sapi lebih besar dari faktor penentu pertambahan sapi, sehingga setiap tahun populasi sapi akan terus berkurang kalau tidak ada upaya-upaya terobosan yang strategis. Berdasarkan rasio sapi jantan yang di potong terhadap sapi betina pada beberapa daerah menunjukkan rasio jantan:betina lebih sempit (1,3 : 1) di Kabupaten Gowa, Barru, Bantaeng, Wajo dan Palopo. Hal ini berarti bahwa jumlah sapi betina yang dipotong sama banyaknya dengan sapi jantan. Konsekuensi dari rasio ini menyebabkan induk bibit betina semakin berkurang dan dampaknya tingkat kelahiran juga semakin berkurang. Tingginya pemotongan sapi betina, karena dilapangan jumlah sapi jantan potong sangat terbatas serta pedagang ternak lebih suka membeli betina karena harganya lebih murah dibanding ternak jantan. .
Faktor lain yang menentukan program peningkatan populasi sapi adalah tingkat kelahiran, baik hasil kawin alam maupun hasil kawin suntik ( inseminasi buatan). Berdasarkan sasaran Rencana Strategis Pembangunan Peternakan 2003 – 2007 yang berhubungan dengan peningkatan populasi ternak adalah terjadi peningkatan rasio jumlah inseminasi per kebuntingan (Services per conception (S/C)) dari 2 menjadi 1,5 dan tingkat kebuntingan (Conception Rate) dari 50 % menjadi 70 %, namun sasaran ini belum bisa dicapai. Data kajian program inseminasi buatan (IB) tahun 2004–2006 ( Sonjaya 2007) menunjukkan bahwa :
n Target betina akseptor (% betina yang diinseminasi) sangat rendah, rata-rata tiap tahunnya 5,14 – 6,8 % dari populasi betina induk akseptor (asumsi jumlah induk akseptor adalah 30% dari total populasi).
n Secara umum % realisasi IB dari target betina akseptor adalah 61% (kisaran 32 – 92%) dengan rataan S/C berkisar antara 3,28 - 4.05, (bila tidak dihitung 2 kabupaten yang jelek keberhasilan IBnya, maka S/C mencapai 2,42- 2,52) tingkat kelahiran (CR) dari betina yang di IB : 52,9%
n Kabupaten yang melaksanakan program IB tidak konsisten dalam mempertahankan keberhasilan program IB nya.
Dari dua puluh tiga kabupaten, terdapat 7 kabupaten yang tidak melaksanakan program IB (Selayar, Jeneponto, Soppeng, Wajo, Pangkep, Palopo, Makassar) dan kabupaten Pinrang dan Pare-Pare memperlihatkan kinerja IB yang sangat rendah. Hal-hal di atas akan berdampak kepada tingkat kelahiran hasil program inseminasi buatan (IB) sangat rendah bila dibanding dengan potensi jumlah populasi betina akseptor dan laju penurunan populasi akan tinggi.
Pemerintah pusat melalui program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) telah memberikan tugas kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2006 untuk berkontribusi dalam tambahan target penyediaan daging tahun 2010 sebanyak 6,16 % atau setara dengan 7.052 ton daging atau setara dengan tambahan populasi/kelahiran sebanyak 38.106 ekor. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka Sulsel harus memberikan kontribusi tambahan akseptor IB sebanyak 32.483 ekor dan akseptor kawin alam 29.986 ekor. Untuk memenuhi target tersebut, dengan menggunakan data awal populasi tahun 2006 sejumlah 687.255 ekor, maka :
• Jumlah betina dewasa diasumsikan 42 % dari total populasi ~ 288.467 ekor
• Jumlah betina akseptor 30 % dari total populasi ~ 202.053 ekor
• Program Reguler :
o Akseptor IB sejumlah: 21.500 ekor; Kelahiran hasil IB: 7525 ekor (39%)
o Akseptor kawin Alam (KA): 126.116 ekor; Kelahiran KA: 25.223 ekor (25,2%)
• Program Percepatan:
o Akseptor IB sejumlah: 18.739 ekor; Kelahiran hasil IB: 13.117 ekor (70%)
o Akseptor Kawin alam: 35.699 ekor, Pejantan: 248 ekor, Kelahiran 24.989 ekor (42%)
Berdasarkan data diatas, untuk mendapatkan tambahan kelahiran (populasi sapi dewasa) sebanyak 38.106 ekor Provinsi Sulawesi Selatan c/q Dinas Peternakan harus menyediakan betina akseptor tambahan sebanyak 54.438 ekor dan pejantan sebanyak 248 ekor untuk tujuan kawin alam. Permasalahan ternak ini sangat sulit di lapangan, misalnya untuk penyediaan pejantan, pada setiap hari raya qurban Iedul Adha, ratusan sampai ribuan ekor jantan dipotong setiap tahunnya, termasuk calon pejantan dan pejantan berkualitas. Tetapi pemerintah daerah tidak memanfaatkanya untuk menseleksi dan membeli pejantan dimana pada periode tersebut merupakan upaya yang tepat untuk menseleksi pejantan yang ada dilapangan. Jumlah betina akseptor sebaiknya berasal dari luar provinsi Sulawesi Selatan atau sapi betina impor (sapi bunting), jika sapi betina akseptor disediakan berasal dari dalam provinsi maka tidak ada penambahan populasi.
Pertanyaannya sekarang adalah mampukah pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan , cq Dinas Peternakan, menyediakan betina akseptor dan pejantan sebanyak itu ? Apakah ada strategi lain untuk mencapai target sejuta ekor pada tahun 2013 ? Berapa persen laju peningkatan populasi sapi per tahun, dengan kondisi populasi sapi sekarang, yang harus dicapai untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Masih banyak pertanyaan yang perlu dicari solusinya dan dijabarkan dalam bentuk program aksi di masyarakat.
Selain trend penurunan populasi sapi di Sulawesi Selatan, penurunan kualitas genetik dan reproduksi juga terjadi. Parameter reproduksi seperti calf crop (tingkat kelahiran) turun dari 16 bulan menjadi 20 bulan, berat lahir turun dari rata-rata 15,9 kg turun menjadi 11,5 kg dan umur melahirkan pertama semakin melambat dari 28,57 bulan menjadi 41,8 bulan. Hasil survei di sentra pengembangan sapi Bali murni kabupaten Barru dan di daeran bukan pengembangan sapi Bali, kabupaten Maros dan Gowa, menunjukkan bahwa adanya penurunan kondisi eksterior dan memperoleh sapi jantan dengan berat 275 – 300 kg sudah sangat susah (Sonjaya dkk 2007). Berdasarkan PERMENTAN No: 54/Permentan/OT.140/2006. Ukuran tubuh sapi Bali jantan berumur 24 – 36 bulan, tinggi gumba kelas I adalah minimal 119 cm dengan panjang badan minimal 121 cm, sedangkan untuk betina berumur 18 – 24 bulan, tinggi gumbanya minimal 105 cm dengan panjang badan minimal 104 cm. Ukuran tubuh sapi Bali sekarang di Sulawesi Selatan umumnya berada kelas II bahkan sampai kelas III, tinggi pundak sapi Bali jantan hanya berkisar 111,33 – 112,22 cm. Hal ini menunjukkan bahwa bukan saja jumlah ternak sapi potong yang perlu ditingkatkan, akan tetapi juga perlu sinergi dengan peningkatan mutu bibit sapi sehingga sapi selain bisa dijual, juga daya saing kualitasnya tinggi.
Pembelajaran ( Learning Lesson) dari Program Peningkatan Populasi Ternak
Program peningkatan populasi yang telah dilakukan pemerintah melalui berbagai kegiatan antara lain: meningkatkan angka kelahiran dan impor ternak. Salah satu cara meningkatkan angka kelahiran adalah melalui penggendalian pemotongan sapi betina.. Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa pengendalian pemotongan betina sulit untuk dilakukan karena peternak rakyat relatif miskin, penjualan ternak merupakan sumber penghasilan. Pencegahan pemotongan hanya dapat dilakukan jika ada yang membeli untuk dipelihara lagi dan itu hanya mungkin oleh pemerintah. Perlu adanya program yang bertujuan untuk meningkatkan bisnis peternak melalui pola-pola Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Pola ini akan memunculkan beberapa implementasi diterapkannya prinsip-prinsip participatory planning, pelayanan yang terdesentralisasi dan sesuai dengan kebutuhan petani (local spesific). Bantuan langsung masyarakat tersebut dikelola oleh kelompok peternak yang prinsipnya bergulir (revolving) dan dapat memberikan perkuatan modal kelompok serta dapat digunkan untuk membeli sapi betina produktif yang akan dipotong.
Peningkatan angka kelahiran dapat juga dilakukan dengan meningkatkan jumlah kebuntingan pada ternak betina produktif, baik melalui intensifikasi program inseminasi buatan (IB) maupun mengimpor ternak betina yang telah dikawinkan.. Pelaksanaan peningkatan angka kebuntingan dan produktivitas melalui IB pada ternak sapi potong dan kerbau di lapangan menghadapi beberapa kendala (Tolihere 2004) , antara lain: (1) Sistem beternak sapi potong dan kerbau umunya ekstensif / liar digembalakan / dilepas di padang rumput luas atau di hutan, sehingga menyulitkan untuk pelaksanaan IB. (2). Sistem peternakan sapi potong dan kerbau bersifat tradisionil dan individual, sehingga sulit untuk diubah pola pikirnya untuk mengikuti sistem peternakan modern dan dihimpun dalam suatu sistem kerjasama kelompok atau organisasi sosial. (3). Penyediaan pakan ternak sangat tergantung kepada alam, dalam hal ini, pada waktu musim tertentu dimana kuantitas dan kualitas kurang baik akan berdampak negatif terhadap kondisi tubuh ternak dan akhirnya juga berdampak buruk terhadap aspek reproduksinya. (4). Inseminator yang mengelola IB pada sapi potong adalah umunya tenaga teknis yang kurang terlatih ( jam terbangnya rendah) dibanding inseminator pada sapi perah. (5). Saran dan prasarana yang belum memadai , seperti motor, akan menghambat kelancaran pelaksanaan IB. Pada beberapa daerah di Sulawesi, adanya usaha – usaha penggemukkan menyebabkan sapi dan kerbau jantan muda langsung dipelihara secara intensif atau diikat di bawah pohon sehingga kawanan sapi betina berahi yang digembalakan tidak bisa kawin secara alam dan hal ini menyebabkan jarak kelahiran panjang ( 2 – 3 kali beranak per 5 tahun ) dan tingkat kelahiran rendah ( Sonjaya dan Thamrin, 1996, Sonjaya 2007). Pembentukan kelompok IB mandiri merupakan usaha yang perlu dikembangkan terus pada berbagai kabupaten, karena hanya kelompok peternak yang sadar akan perlunya teknologi inseminasi buatan yang dapat menunjang peningkatan populasi pada peternakan rakyat.
Impor sapi betina yang bertujuan menambah populasi betina produktif ternyata tidak mencapai sasarannya, karena setelah dipelihara oleh peternak sebagian besar sapi betina impor tersebut memperlihatkan gangguan reproduksi yang mengarah ke infertilitas sampai sterilitas. Impor ternak bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging berhasil menekan pemotongan sapi local pada beberapa daerah, tetapi berdampak negatif terhadap usaha penggemukkan sapi lokal, terutama peternak rakyat dan perusahaan peternakan serta pedagang antar pulau. Hal ini berdampak buruk terhadap usaha peternakan sapi lokal, Demikain juga , impor offal / jeroan sapi yang mencapai 90% dari total Bahan Asal Hewan (BAH) merupakan ancaman yang sangat besar bagi usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Harga offal impor yang murah saat ini digunakan untuk mensubstitusi daging yang pada akhirnya membuat harga daging sapi terdistorsi Dampaknya menciptakan kurang bergairahnya usaha peternakan ternak potong pada peternakan rakyat.
Pada proyek PUKATI yang bertujuan untuk mendistribusikan dan pengembangan ternak, khususnya sapi tidak banyak membantu peningkatan populasi , yang terjadi terjadi hanya perpindahan ternak antar kabupaten dalam satu propinsi atau perpindahan ternak antar propinsi dalam satu kawasan regional.
Program Gerakan Optimalisasi Sapi ( GOS) mempunyai tujuan yang sama dengan proyek PUKATI bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi dan distribusi di kantong-kantong produksi sapi di berbagai kabupaten, keberhasilannya masih belum sesuai dengan harapan. Permasalahan di lapangan mulai dari kualitas bibit sapi yang disebarkan kurang memenuhi persyaratan bibit, calon penerima kurang berpengalaman , kesiapan kelompok tani dalam menyediakan pakan ternaknya dan memeliharanya sampai kurangnya pendampingan (penyuluhan) menyebabkan terlambatnya bibit sapi melahirkan dan tingkat kelahiran rendah.
Berdirinya Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIB-D) pada awalnya adalah merespon kebijakan Pusat dalam rangka mendekatkan produsen semen dengan pengguna dalam memenuhi semen secara Tepat Waktu, Tepat Breed dan Tepat Jumlah (3T), sehingga diharapkan dapat meningkatkan jangkauan pelayanan IB kepada para peternak. Namun peran BIB-D Sulawesi Selatan yang ada di Puca, Kabupaten Maros belum mencapai target tujuannya secara optimal karena berbagai kendala teknis dan dukungan biaya operasional dari pemerintah daerah belum maksimal. Kuantitas dan kualitas produk semen beku masih belum dapat memenuhi sasaran yang diinginkan. Pejantan unggul bangsa sapi impor (Limousin, Simmental, Brahman ) tidak semuanya dapat bereproduksi, demikian juga pejantan sapi Bali asal NTB dan Brahman Cross belum berproduksi karena kendala teknis. Namun demikian, permasalahan lain adalah belum dilakukannya sistem penjaminan mutu untuk meningkatkan kualitas produk semen beku, sehinga tingkat kepercayaan inseminator masih rendah dan lebih suka menggunakan bibitr semen beku dari BIB Singosari atau Lembang.
Kelembagaan kelompok peternak pada masa lalu berdiri bukan atas kesadaran sendiri untuk memperjuangkan kebutuhan sarana produksi ternak secara berkelompok, tetapi lebih ditekankan untuk memenuhi kebutuhan proyek. Hal ini disebabkan pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan di Indonesia, lebih mengikuti kebijakan top down, masyarakat peternak / petani kurang diberi penyuluhan tentang pentingnya berkelompok dalam menangani masalah pembangunan peternakan. Hal ini menyebabkan sikap masyarakat selalu tergantung pada pemerintah, kurang kreatif dan bersifat menunggu, sehingga pembangunan peternakan sulit berkelanjutan, meskipun sumberdaya ternak dan daya dukung bersifat renewable. Oleh karena itu, agar berkelanjutan diperlukan peran nilai kearifan dan kualitas sumberdaya manusianya yang bisa dilakukan melalui penguatan sosiokultural. Penguatan sosiokultural pembangunan peternakan bisa dilakukan dengan penataan, pemantapan dan pengembangan ide, nilai, norma, gotong royong, cognitive social capital dan jaringan sosial ekonomi.
Strategi Pencapaian Sejuta ekor Sapi di Sulawesi Selatan
Untuk mencapai target sasaran sejuta ekor pada tahun 2013, dengan modal awal jumlah populasi pada tahun 2007 sebanyak 668.622 ekor, maka tingkat laju kenaikkan populasi secara alamiah ( net natural increase) minimal harus 9 % per tahun. Dalam mencapai sasaran tersebut Pemda Sulawesi Selatan perlu memfokuskan pada langkah operasional , sebagai berikut: (1) .Memacu kegiatan IB melalui optimalisasi akseptor, (2) Perbaikan kawin alam melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek, (3) Pengamanan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi, (4). Penjaringan dan penyelamatan betina produktif., (5) Pengembangan dan pemanfaatan pakan lokal, (6). Pengembangan SDM dan kelembagaan., dan (7) Penyediaan induk/bibit
Jumlah akseptor sapi betina untuk inseminasi buatan perlu ditingkatkan dari 6,8 % pada tahun 2006 harus ditingkatkan lebih dari 50 % dari populasi betina akseptor yang ada diseluruh provinsi Sulawesi Selatan. Sisanya akseptor sapi betina bisa dikawinkan dengan pejantan secara kawin alami, khususnya didaerah-daerah yang tidak terjangkau dengan program IB. Demikian juga, indikator-indikator keberhasilan IB seperti S/C yang rata-rata 2,5 perlu diturunkan menjadi rataan 1,5, dan tingkat kelahiran hasil IB harus ditingkatkan dari 30 % menjadi lebih dari 70 %. Jumlah akseptor program kawin alami dan kelahiran KA, persentase akseptor kawin alam untuk tahun 2006 belum terinventarisasi dengan baik demikian juga kelahiran hasil kawin alam, tetapi diduga sangat rendah karena keterbatasan pejantan di lapangan. Oleh karena itu perlu meningkatkan ketersedian pejantan berkualitas pada daerah yang tidak terjangkau oleh program IB dan meningkatkan kelahiran kawin alami.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sapi betina yang akan dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) , 4-5 % betina bunting dan 7 – 9% betina produktif. Hal ini mengurangi jumlah sapi betina akseptor IB sebanyak 15 % pertahun . Penyelamatan sapi betina produktif masih relatif rendah jumlahnya, data tahun 2001 – 2004 , rata-rata yang diselamatkan sekitar 40 ekor betina produkstif, tahun 2005 meningkat menjadi 247 ekor dan tahun 2006 sebanyak 600 ekor. Rendahnya betina produktif yang diselamatkan karena ketersediaan dana APBD dan APBN yang sangat terbatas, keterbatasan kemampuan petugas RPH, integritas aparat keamanan dan lemahnya pengawasan pemerintah kabupaten dan kota. Tindakan penyelamatan sapi betina produktif sebaiknya dilakukan oleh kelompok peternak mandiri melalui dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dengan sistem bergulir ( revolving) , tidak perlu oleh pihak Dinas Peternakan dan pihak dinas hanya sebagai fasilitator saja, sehingga biaya anggaran proyek penyelamatan lebih kena sasaran dan dapat membeli betina produktif yang lebih banyak. Penyelamatan betina produktif juga harus menyentuh larangan perdagangan sapi bibit betina ke daerah lain. Hasil survai tahun 2007 memperlihatkan masih ada pedagang ternak yang mengantongi izin untuk mengeluarkan sapi bibit betina ratusan ekor ke Provinsi Gorontalo. Sebaiknya perdagangan sapi antar Provinsi distop dulu sampai populasi sapi melebihi satu juta ekor.
Pengamanan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi betina di sentra-sentra produksi sapi potong perlu dilaksanakan secara berkesnambungan, khususnya terhadap penyakit Brucellosis, Anthrak Penyakit Ngorok (SE), Diare dll . Dengan adanya penyakit gangguan reproduksi, maka tingkat kelahiran anak akan rendah dan jarak kelahiran akan panjang. Penyebaran vaksin dan biaya operasional perlu disiapkan setiap tahunnya, khususnya pada daerah-daerah pusat endemi. Pada era otonomi daerah sekarang, bibit vkasin sebagian disuplai oleh pemerintah provinsi, tetapi biaya operasionil untuk program vaksinasi tidak disediakan dan pemerintah kabupaten juga tidak menglokasikan dana tersebut, sehingga program vaksinasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan data survai limbah tanaman pangan sebagi sumber pakan ternak menunjukkan jumlah produksi bahan kering limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan adalah 5,883,996 ton bahan kering, dimana produksi bahan kering jerami padi terbesar sebanyak 4,312.125 (73,29%) , disusul jerami jagung sebanyak 1.167,874 (19,68%), jerami kacang tanah 113.028 Ton, dan jerami kacang hijau 113.028 ton ( 1,92 %) ( Jasmal 2006). Dari data tersebut, menunjukkan jerami padi dan jerami jagung memiliki produksi yang cukup tinggi dibanding limbah tanaman pangan lainnya. Dari data potensi total bahan kering, jika seekor sapi dewasa mengkonsumsi 5 kg/ekor/hari bahan kering, maka diperkirakan jumlah sapi yang dapat dipelihara sekitar 3.055 ribu ekor sapi per tahun. Belum lagi limbah yang berasal dari perkebunan kelapa sawit dan coklat yang masih belum dikaji pemanfaatannya secara maksimal. Permasalahan di lapangan adalah masalah penyuluhan bagaimana pemanfaatan limbah dengan memanfaatkan teknologi pakan dapat diadopsi oleh para peternak.
Pengembangan Sumberdaya Manusia dan kelembagaan peternakan merupakan faktor penentu dalam program peningkatan populasi. Penguatan kelembagaan yang ada dilakukan dengan mengubah paradigma kebijakan pembangunan peternakan asalnya bersifat Top Down menjadi kebijakan berasal dari akar rumput atau bottom up. Penataan, pemantapan dan pengembangan ide untuk membangun peternakan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengubah ide dan gagasan yang dulu dari pemerintah menjadi dari masyarakat atau pendekatan top down menjadi bottom up planning. Salah satu kasus yang menarik di lapangan dan bersifat top down adalah pembuatan kandang kelompok dalam program GOS ( Gerakan Optimalisasi Sapi Potong) , dimana setiap kelompok ternak mendapat 75 ekor sapi untuk dipelihara secara kelompok dan mendapat kandang ternak kelompok yang didanai dari program tersebut. Ternyata kandang kelompok yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan peternak, dibuat oleh kontraktor tanpa konsultasi dengan kelompok peternak, didirikan ditanah pribadi ( kepala desa /ketua kelompok) bukan tanah negara /tanah wakaf, akhirnya para peternak kembali seperti semula dipelihara di tempat masing-masing ( di kolong rumah) , dengan berbagai alasan; terlalu jauh untuk kontrol ternak, kesulitan jaga malam di kandang kelompok, tidak semua anggota berkomitmen dalam memelihara ternak secara berkelompok dll. Fakta tersebut merupakan kebijkan yang bersifat dari atas tanpa memerhatikan situasi, kondisi dan kebutuhan kelompok peternak. Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk penguatan kelembagaan kelompok peternak (1). Penataan, pemantapan dan pengembangan cognitive social capital melalui pemahaman arti hidup dalam hubungan dengan alam sekitar bersikap adi luhung, ( 2) Penataan , pemantapkan dan pengembangkan jaringan struktur sosial ekonomi peternak dilakukan dengan pembentukan modal, meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan koperasi, memotivasi kerja untuk meningkatkan produktivitas dan melakukan penyambungan kembali hubungan antar kelembagaan terkait yang telah terputus, dan (3) Penataan, pemantapan dan pengembangan penggunaan teknologi peternakan melalui kelayakan teknis, meliputi keterjangkaun teknologi, biaya terjangkau, dan bersifat compatable dengan lingkungan sosial.
Penyediaan induk/bibit sapi Sulawesi Selatan telah dilakukan dengan berbagai program, seperti PUKATI, GOS, Penyelamatan Betina Produktif dan telah mencanangkan anggaran P2SDS 2010 untuk pengadaan sapi betina bunting ex impor sebanyak 2100 ekor, pengadaan sapi Bali betina 6000 ekor dan pembelian sapi Betina produktif 4500 ekor selama periode 2008 – 2010. Dari data ini terlihat bahwa pengadaan jumlah betina akseptor masih belum mencukupi dari target tambahan yang telah ditetapkan dalam program P2SDS, pengadaan jumlah sapi Bali dan pembelian sapi Betina produktif kalau tidak berasal dari luar Sulsel tidak akan menambah jumlah akseptor baik untuk akseptor IB maupun kawin alam.
Faktor yang lebih penting yang menentukan keberhasilan program sejuta ekor sapi di Sulwesi Selatan adalah partisipasi dan keterlibatan pemerintah kabupaten / kota dalam melaksanakankegiatan program yang telah dicanangkan , baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Hal ini disebabkan beberapa fungsi pembangunan peternakan berada pada posisi di departemen/sektor lain. Misalnya, di sektor perdagangan, industri, perbankan, dan badan usaha logistik. Belum lagi dengan kebijakan otonomi daerah, yaitu fungsi dan peran SKPD di daerah sering kali "tidak terhubung" dengan dinas sejenis di tingkat provinsi atau pusat. Dampaknya, kebijakan sektor pertanian, dhi Sub-sektor peternakan, sering kali menjadi terkatung-katung. Beberapa contoh kasus, antara lain program swasembada daging sapi, menurut beberapa hasil evaluasi, dukungan pemerintah di tingkat kabupaten / kota / provinsi terhadap program nasional ini hanya sekitar 30 persen. Kesimpulannya, program yang cukup baik tersebut tentu tidak akan berhasil dengan baik karena tidak didukung (tidak mengakar) di tingkat operasional (kabupaten/kota dan provinsi). Dengan memperhatikan dan menjalankan langkah-langkah operasional yang disebutkan diatas, Insya Allah program sejuta ekor pada tahun 2013 bukan program mimpi tapi dapat terealisasi .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar