Sabtu, 28 Januari 2012

Dampak pemanasan global terhadap produktivitas ternak ( Global warming effect on animal productivity).

Dampak  pemanasan global terhadap  produktivitas ternak
( Global warming effect on animal productivity).
Oleh Herry Sonjaya 

Abstrak
Pemanasan global merupakan  salah satu penyebab  perubahan  iklim  dunia yang  dapat mempengaruhi  langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas ternak.  Pengaruh  langsung  pemanasan global  dapat  terjadi  pada  kesehatan, pertumbuhan dan  reproduksi ternak, sedangkan pengaruh  tidak langsung nya melalui ketersediaan biji-bijian  untuk pakan tambahan dan terhadap produksi dan kualitas hiajuan makanan ternak.  Pada tulisan akan dibahas  terutama  dampak langsung  pemanasan global  dan terutama akan difokuskan terhadap  respon  ternak  perah dan sapi potong.  Berbagai  alternatif untuk mengurang dampak tersebut akan didiskusikan.

Abstract

Global warming  is one of the cause of global climate change  which could poteantially  direct and   direct effect on animal productivity.  The direct effect of global warming could be affect on  healt, growth  and animal reproduction., meanwhile  the indirect effect  affected to livestock feed-grain availability and livestock forage production and quality.  The present papers deals with the direct effect of global warming and  will be mainly  focused on the response dairy and beef cattle.  Different alternatives to reduce those effets will be discussed.


Pendahuluan

Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata di atmosfer, laut dan daratan Bumi.  Temperatur rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC,  sehingga sebagian panas  ( berasal  dari energi matahari) terperangkap di  atmosfer bumi akibat  menumpuknya  jumlah gas rumah kaca tersebut.  . Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan temperatur rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Dengan  adanya peningkatan  temperatur lingkungan, diduga  akan menyebabkan berbagai perubahan  pada beberapa tempat di permukaan bumi ini.  Peningkatan temperatur  bumi dapat meningkatkan  level  pemukaan air laut meningkat akibat memanasnya  perairan bebas dan laju mencair didaerah kutub.  Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang (Rob) akan meningkat di daratan.  Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia.  Konsekuensi akhir dari pemanasan global adalah  perubahan  iklim  secara global juga di berbagai  penjuru di permukaan bumi ini. 

Pengaturan  Fisiologis    dalam Merespon   Pemanasan Global
Temperatur lingkungan  membatasi penyebaran kehidupan organisma / hewan dan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan aktivitas organisma/hewan.  Kisaran temperatur pada permukaan bumi adalah lebih besar dibanding  kisaran temperatur  di dalam perairan  (  Proser 1991).  Sebagai contoh, kisaran temperatur udara berkisar  dari -70°C  pada daerah kutub sampai  + 85°C pada gurun pasir yang panas, sedangkan temperatur air berkisar antara -1,82°C di laut  Kutub utara dan Selatan dibanding + 30°C pada permukaan air daerah tropis.  Pada umunya aktivitas hidup hewan  terjadi pada kisaran temperatur -0°C sampai 40°C; kebanyakan hewan hidup dalam kisaran yang lebih sempirt lagi.  Beberapa hewan dapat menjadi dorman (tidur)  dan hidup baik dalam keadaan tidak aktif  dibawah 0°C atau diatas 40°C.  Sebagian lagi hewan dapat hidup keadaan membeku dan sebagian lagi  dapat hidup  pada sumber air panas dengan suhu +70°C.  Kehidupan bakteri telah dilaporkan dari laut dalam pada suhu +250°C dibawah tekanan tetapi pertumbuhan berhenti diatas 150°C.
Terdapatnya keragaman dan fluktuasi temperatur di habitat tempat hewan hidup menyebabkan adanya perbedan proses fisiologis (metabolisme energi dan sistem endokrin)  antara hewan  untuk mengantisipasi perubahan -perubahan temperaur lingkungan dan perbedaan dalam pengelompok hewan berdasarkan  thermofisiologis.  Pengelompokkan hewan sebelum perkembangan ilmu fisiologi adalah kelompok hewan bergolongan darah dingin dan kelom­pok darah bergolongan darah panas.  Istilah ini sudah lama diting­galkan karena terlalu subjektip dan tidak didasarkan pada pembuk­tian ilmiah.    Klasifikasi lain berdasarkan perubahan temperatur tubuh individu hewan, jika hewan tersebut ditempatkan pada temperatur lingkungan yang berbeda dengan temperatur tubuhnya.  Kelompok pertama disebut golongan hewan homeotherme , yaitu  : hewan yang temperatur tubuhnya relatif konstan pada berbagai variasi temperatur  lingkungan, sedangkan golongan kedua adalah hewan poikilotherme, yaitu : hewan yang temperatur tubuh­nya dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua definisi ini sekarang sudah kurang digunakan karena kedua istilah ini tidak menjelaskan mekanisme pertukaran energi kalori.  Temperatur tubuh suatu hewan adalah hasil resultante dari pertambahan dan pertukaran panas. Para pakar fisiologi sekarang lebih suka membedakan  kelompok hewan dengan istilah ekstoterm dan endoterm ( Robertshaw, 2004).  Hewan  ekstoterm adalah hewan yang temperatur tubuhnya bergantung sepenuhnya kepada panas yang berasal dari lingkungan­nya,  memperlihatkan metabolisme sedikit aktip, dan  konduksi panasnha  tinggi (isolasinya jelek terhadap pengaruh lingkungannya).  Sedangkan hewan  endoterm  merupakan hewan yang produksi panasnya  oleh metabolisme (terutama oksidasi) adalah tinggi,  isolasi panasnya  cukup,  dan  temperatur tubuh individu bergantung kepada produksi panas yang dihasilkan tubuhnya sendiri.
Pada kedua kelompok hewan , ekstoterm dan endoterm,  Respon fisiologis   terhadap perubahan –perubahan lingkungan, termasuk pemanasan  global adalah  dengan cara pengaturan prosess faal  ( fungsi pengaturan fisiologis) melalui proses : (1)  pengaturan lingkungan  internal ( tubuh ternak)  yang konstan meskipun terjadi  perubahan lingkungan eksternal, (2) konformasi  yaitu menyesuaikan diri sampai batas tertentu dengan perubahan lingkungan eksternal dan (3)  menghindar ( avoidance), yaitu  suatu usaha untuk menghindar dari perubahan temperatur lingkungan dengan jalan  meninggalkan  habitat  di mana terjadi  perubahan temperatur lingkungan menuju ke tempat yang lebih ideal bagi kelangsungan hidupnya.  Respon fisiologis  ini didasarkan kepada hewan harus  mempertahankan  kesimbangan panas tubuh ( homeostasis)  antara  produksi panas ( termogenesis) dan pengeluaran panas ( Termolisis) (Robershaw, 2004).
Respon fisiologis  juga sangat dipengaruhi oleh  skala ( scales) . Apakah  skala spasial atau bersifat temporal.  Pada level  temporal jika perubahan  temperatur lingkungan  terjadi secara  akut, biasanya responnya relatif  cepat terhadap pemanasan  global. Lama waktunya terjadi  sangat singkat ( beberapa menit atau jam)  dan biasanya  tidak berhubungan  dengan perubahan  frekuensi gen.  Jika pemanasan global  menyebabkan  perubahan  fenotipe, maka  biasanya terjadi  jika ada interaksi  dengan lingkungan  dalam waktu  yang lama ( beberapa hari sampai minggu). Pada kondisi ini terjadi  proses aklimatisasi atau  aklimasi.  Prosesnya bisa terjadi  reversible, kecuali  antar tahap –tahap kehidupan. Pemanasan global yang menyebabkan  perubahan pada frekuensi gen,  dalam hal ini terjadi  perubahan genotipfe maupun  fenotip  suatu organisma . Skala waktunya  bisa  terjadi dalam antar generasi  dan tidak terjadi reversible.
Seperti pada hewan endoterm lainnya, ternak  ruminansia ( sapi, kerbau, kambing dan domba)  harus menjaga  temperatur tubuhnya  dalam satu interval  yang relatif sempit, yang mana  produksi panas dihasilkan tubuhnya  dan kondisi termik lingkungannya sangat dekat.  Kondisi tersebut  sangat penting  untuk melaksanakan fungsi fisiologis dan keseluruhan  reaksi metabolik pada tingkat seluler berjalan pada kondisi yang normal  ( Morand-Fehr & Doreau, 2001).
Energi panas yang dihasilkan ( termogenesis ) dan energi panas yang dipakai dalam tubuh ( termolisis) akan selalu konstan dan ada dalam keseimbangan yang dinamik. Keseimbangan  dapat digambarkan dengan persamaan beri­kut:
      HT - W = ±HC ± HR + HE ± WS
dimana :
       HT = Produksi panas metabolisme
       W  = Energi panas untuk kerja eksternal
       HC = Pertukaran panas melalui konduksi dan konveksi
       HR = Pertukaran panas melalui radiasi
       HE = Kehilangan panas melalui evaporasi
       WS = Panas yang disimpan dalam tubuh
Hewan-hewan yang memperlihatkan suatu termoregulasi yang baik (seperti unggas dan mamalia) mempunyai mekanisme yang dapat menyesuaikan termogenesis dan termolisis pada kondisi suatu lingkungan.
Pada suatu interval  temperatur lingkungan  yang cukup lebar dan  biasanya dibawah  temperatur tubuh , yang disebut zona  homeothermi, produksi panas ( termogenesis) ada dalam keseimbangan dengan  kehilangan panas ( termolisis)  ( Gambar  1).  Pada zona homeotermi, untuk satu pencernaan tertentu, terdapat  satu interval temperatur dimana produksi panas sangat  minimal, dan disebut   zona netral ( termonetral)  yang merupakan  zona yang nyaman bagi kehidupan ternak. ( Morand-Fehr & Doreau, 2001).



Gambar 1: Skema evolusi  termolisis ( garis terputus-putus) dan termogenesis dengan temperatur lingkungan. .  Kurva termogenesis berdampingan  panas  seekor ternak berdasqarkan temperatur lingkungan
Zona temperatur netral atau zona termonetral  (ZTN) adalah zona yang relatif terbatas dari temperatur lingkungan yang efektif dalam memproduksi panas minimal dari ternak (Curtis, 1999). ZTN disebut juga profil termonetral atau zona nyaman atau zona termopreferendum (Yousef, 1984). Pada zona ini, tidak ada perubahan dalam produksi panas dan temperatur tubuh dapat dikontrol oleh adanya perubahan kecil dalam konduksi ternak melalui variasi tubuh, aliran darah dari pusat ke periferi atau peningkatan keringat (Sturkie, 1981).
Pada temperatur di bawah ZTN, ternak akan meminimalkan semua jalur pengeluaran panas dan meningkatkan produksi panas. Pada temperatur di atas ZTN ternak akan memaksimalkan pengeluaran panas (Yousef, 1984).

Pertukaran Panas Antara Ternak  dengan Lingkungannya

             Seperti sifat-sifat fisik lainnya ,panas berpindah berdasar­kan perbedaan konsentrasi, daerah dimana dia berpindah dari daerah panas kedaerah dingin.  Beberapa cara perpindahan panas dapat terjadi antara dua obyek yang berbeda temperaturnya (Gambar  3).   Perpindahan  panas  dapat berlangsung secara radiasi, konveksi, konduksi  (ketiga proses disebut perindahan panas sensible/ non evaporasi) dan melalaui evaporasi (perpindahan panas insensible.   Pengaliran panas  dari permukaan tubuh ke lingkungan sekitarnya dapat berlangsung dengan cara: (1) konduksi panas melewati rambut /bulu penutup dan lapisan tipis yang menyelaputi  tubuh (boundary layer), (2) konveksi panas melewati “boundary layer” terjadi karena adanya pergerakan udara atau angin, (3) radiasi panas dari ujung-ujung rambut/bulu melewati boundary layer dan (4 ) evaporasi air yang terkandung dalam udara.   Sebagai contoh pertukaran panas melalui  radiasi melibatkan  transfer panas  melalui gelombang  magnetik, dalam lingkungan alamiah,  baik transfer panas  melalui spektrum cahaya infra merah maupun spektrum cahaya yang bisa dilihat (visibel).   Gambar 3 memperlihatkan  panas yang berasal dari matahari  terpecah  oleh awan dan debu di atmosfir atau direfleksikan kembali oleh tanah.   Sejumlah panas yang diserap kulit akan bergantung kepada warna bulu atau kulit  ternak.  Pada umumnya. Panas diperoleh ternak dalam bentuk spektrum cahaya visibel  dan hilang dalam bagian spektrum  infra merah.  Menurut  Robertshaw ( 2004), pada  suatu pertukaran panas radiasi lingkungan,  besaran pertukaran panas oleh ternak adalah  perolehan panas dari metabolisme: 15% dan dari absobsi  cahaya radiasi : 85%,  sedangkan kehilangan panas  dari re-radiasi : 67 %,  konveksi: 9% dan dari  evaporasi : 24 %
















Gambar 2:  Jalur transfer panas  dari seekor ternak kuda yang dipaparkan terhadap  lingkungan  outdoor.

Jika temperatur lingkungan meningkat, panas diperoleh ternak melalui lingkungannya dalam bentuk  radiasi ( penyinaran matahari), konveksi ( pertukaran dengan udara) dan konduksi ( pertukaran dengan permukaan tanah), jika temperatur udara dan tanah lebih tinggi dari temperatur kulit (tubuh).  Kehilangan panas juga  dapat melalui evaporasi, radiasi, konduksi dan konveksi.  Evaporasi  terjadi pada tingkat kulit atau pertukaran  pada proses respirasi

Dampak  Pemanasan Global

Dampak Umum  Terhadap  Peternakan
Timbulnya pemanasan global  di permukaan bumi akan mempengaruhi semua komponen lingkungan, baik  abiotik ( faktor fisik dan kimia)  maupun biotik ( semua interaksi di antara (perwujudan)  makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan seksual.
Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis (Yousef, 1984). Komponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban (Yousef, 1984 ; Chantalakhana dan Skunmun, 2002), curah hujan (Chantalakhana dan Skunmun, 2002), angin dan radiasi matahari (Yousef, 1984 ; Cole and Brander, 1986).
Perubahan temperatur lingkungan  mempengaruhi produksi ternak melalu empat cara: (a) dampak terhadap perubahan ketersedian  dan harga bahan pakan ( biji-bijian, tepung ikan dll) , dampaknya terhadap produksi dan kualitas padang rumput dan hijauan makanan ternak, perubahan dalam distribusi hama dan penyakit ternak dan pengaruh langsung dari cuaca dan temperatur ekstrim  terhadap kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternk.  ( Smith et al 1996).   Pengaruh peningkatan  temperatur lingkungan bukan hanya berdampak secara   tunggal, akan tetapi  dapat  mempunyai  multiefek terhadap  faktor abiotik lainnya, seperti  radiasi,  kelembaban, angin ,  dan faktor lainnya.  Hal ini menyebabkan  kesukaran dalam mengukur parameter  dan menganalisis data  hasil – hasil penelitian tentang pemanasan global di lapangan  .
Pengaruh tidak langsung  dari perubahan temperatur lingkungan   pada performans ternak  terutama mengahasilkan  perubahan kualitas dan kuantitas   nutrisi pakan ternak.  Hasil penelitian menduga bahwa perubahan dalam iklim  akan mempengaruhi  kualitas dan kuantitas jiauan makanan ternak yang dihasilkan, (Top & Doyle 1996a. 1996b). Dampak pemanasan global  terhadap pasture dan padang penggembalaan termasuk penurunan  kualitas pasture / padang penggembalaan  yang diindikasikan dengan tingginya serat kasar, ADF, NDF dan selulase  serta  rumput akan lebih cepat menua. Konsekuensinya produktivitas padang rumput menurun.   Dampak tidak langsung lainya,  dapat  menyebarkan penyakit dan parasit  kedaerah baru atau menghasilkan  peningkatan  wabah  penyakit yang akhirnya akan mengurangi produktivitas ternak bahkan kematian ternak  (Valtorta, 2003). 

Dampak terhadap  Proses Fisiologis
Pada prinsipnya peningkatan  temperatur tubuh  akibat peningkatan  temperatur lingkungan akan mempengaruhi  dua faktor, yaitu  kecepatan  reaksi kimia  dalam tubuh dan peningkatan aktivitas  enzimatik. ( Proser 1991, Rieutort, 1986).  Temperatur merupakan salah satu ukuran dari agitasi molekul yag mengontrol tingkat reaksi molekuler dan salah satu faktor yang membatasi pelepasan energi dan pertumbuhan organisma.  Bila terjadi  peningkatan temperatur lingkungan maka  akan menyebabkan  perubahan  terhadap temperatur tubuh  yang akhirnya mempengaruhi  kecepatan reaksi biokimia  dalam tubuh ternak tersebut, sehingga   temperatur dari suatu sistem kimia meningkat,  kecepatan reaksi akan meningkat juga. Untuk membandingkan pengaruh  tem­peratur terhadap berbagai system, suatu koefisien  termik telah didefinisikan dan disebut "Q10".  Q10 adalah suatu faktor dimana  kecepatan reaksi ditingkatkan ketika temperatur naik 10 °
            V2
Q10 =  ----
            V1
 V2 = kecepatan reaksi pada temperatur t2 = (t1+10) oC.
 V1 = kecepatan reaksi pada temperatur t1 oC.
Dari rumus diatas maka diperoleh :
                               (T2 - T1
        V2 = V1 Q10  --------
                                  10
. Sebagian besar reaksi metabolisme, mempunyai nilai Q10 berkisar antara 2 - 3.  Koefisien ini bervariasi dengan tempera­tur, tetapi pada nilai- nilai temperatur dimana reksi biologis terjadi, variasinya sangat rendah.  Q10 dari beberapa reaksi biologis adalah  tidak konstan melebihi kisaran temperatur normal dan Q10 adalah lebih besar pada kisaran temperatur rendah dibanding kisara tinggi.  Oleh karena itu, kisaran untuk Q10 yang dihitung harus spesifik.  Sifat-sifat fisik suatu larutan kurang dipengaruhi oleh perubahan suhu dibanding  reaksi yang dikatalisir.
Reaksi eksponensial (Gambar 1), berasal dari perlunya termoregulasi dari sejumlah hewan, : ketergantungan yang tinggi dari metabo­lisme terhadap temperatur eksterna didapatkan dari ternak dalam situasi dimana kebutuhan zat-zat makanan sangat meningkat.  Sebaliknya, perlambatan metabolisme dapat menyebabkan kecepatan reaksi tidak lagi tergantung kepada temperatur, misalnya pada kondisi daerah dingin






 













Gambar 1: Hubungan antar kecepatan reaksi dan temperatur pada  reaksi-reaksi biologis yang mempunyai nilai Q10 = 2 .
            Peningkatan kritis suatu energi dari aktivitas suatu reaksi dinyatakan oleh konstanta Arehrnius µ  atau Ea
                          V2
µ = RT ln --  (T2 - T1
                 V1

dimana Vdan V1  adalah kecepatan konstan (proporsional terhadap kecepatan yang iukur) pada temperatur absolut T1 dan T2 dan R adalah kontanta gas universal (1,98 cal/mol). Jika logaritma sebuah kecepatan diplotkan terhadap temperatur absolut, umunya proses biologis memberikan sebuah garis lurus, dengan tingkat kemiringan adalah - µ/2,3RR atau -µ/4,6 m.  Hubungan ini membawa kesimpulan bahwa jumlah molekul yang melebihi energi kritis akan dobel untuk peningkatan  temperatur 10 oC  , meskipun ada perubahan kinetik, proporsional terhadap temperatur absolut,  adalah kurang. 
   Kecepatan suatu organisme menkonsumsi energi kimia bervariasi berdasarkan temperaturnya.  Berbagai reaksi metabolik akibatnya dipengaruhi oleh temperatur dimana reaksi itu berjalan.  Tempera­tur optimal dari fungsi suatu enzim adalah berinteraksi dengan efektivitas lebih besar dengan subtratnya pada satu konsentrasi fisiologis.  (Gambar2 ).  Sifat-sifat kinetik dari enzim terutama peka terhadap temperatur, kerapuhan ikatan yang lemah (ikatan hidrogen, interaksi hydrophobe, kekuatan Van der Waals) yang menstabilisasikan struktur tridimensionnalnya. 



Gambar .2  : Hubungan aktivtas enzim dan temperatur.  Pada kondisi lingkungan tertentu, aktivitas enzim mempunyai temperatur optimum dengan interval sempit.  Dibawah T optimum , energi kinetik molekul menurun dan interaksi dengan tempat aktif enzim semakin berkurang. Diatas T optimum , denaturasi struktur tersier terjadi pada sejumlah besar molekul enzim dan efeftivitas reaksi menurun
 






















Pengaruh-pengaruh variasi temperatur juga peka terhadap berbagai kemungkinan penyesuaian aktivitas enzimatik (interkon­versi antara bentuk aktif dan tidak aktif, interaksi allosterik, variasi kecepatan sintesa).  Intensitas penggunaan energi oleh suatu organisme tidak hanya bergantung kepada temperatur interna, tetapi juga kesediaan substrat dan ketika penyediaan pakan menjadi tidak cukup, salah satu kemungkinan adaptasi adalah penurunan temperatur tubuh yang membatasi aktivitas enzimatik dan penggunaan substrat.





Ternak yang mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (MC Dowell, 1972). Stres panas kronik juga menyebabkan penurunan konsentrasi growth hormone dan glukokortikoid. Pengurangan konsentrasi hormon ini, berhubungan dengan pengurangan laju metabolik selama stres panas. Selain itu, selama stres panas konsentrasi prolaktin meningkat dan diduga meningkatkan metabolisme air dan elektrolit. Hal ini akan mempengaruhi hormon aldosteron yang berhubungan dengan metabolisme elektrolit tersebut. Pada ternak yang menderita stres panas, kalium yang disekresikan melalui keringat tinggi menyebabkan pengurangan konsentrasi aldosteron (Anderson, et al. 1985).
 Dampak  Terhadap   Reproduksi Ternak
Tingginya temperatur  lingkungan akan menyebabkan  cekaman panas ( heat shock)   dan akan  lebih diperparah lagi  dampaknya  bila  kelembaban udara tinggi sehingga dapat menyebabkan  penurunan  tingkat kebuntingan  pada sapi betina ( Sprot et al., 2001.  Ingraham et al 1974. memperlihatkan bahwa tingkat kebuntingan sppi perah menurun  dari 55 samapi 10 % bila indek tempertur – kelembaban ( THI) meningkat  dari 70 -84.  Rataan temperatur harian dan kelembababan relatf digunakan  untuk menghitung THI  (Amundson 2006) dengan rumus sebagai berikut; ; THI = 90,8 x temperatur)+[(% kelembaban raltif / 100)  x  (temperatur – 14,4)] + 46,4   Cekaman panas juga  menyebabkan  lambatnya  pubertas pada  sapi dara,  tidak timbulnya  berahi pada sapi induk, menekan aktivitas  berahi, meneybabkan  aborsi dan meningkatkan  kematian  anak sebelum disapih ( Vincent 1972) .Terdpat hubungan negatif antara  THI dengan tingkat  kebuntingan  selama  periode musim kawain (Amundson et al., 2006)  hal ini  mengindikasikan bahwa  pada awal musim kawin sebaiknya  dihindari  tingginya kondisi THI  untuk  meningkatkan performan reproduksi  dalam hal ini meningkat tingakt pembuahan  selama musim kawin.
Penuruann fertilitas terutama disebabkan oleh naiknya  temperatur tubuh yang mempengaruhi fungsi ovarium, ekspresi berahi, kesehatan oosit dan perkembangan embruio (Biggers et., 1987; Lucy, 2002).  Alasan lain untuk  gangguan performans reproduksi pada sapi selama  temperatur lingkungan naik termasuk penurunan  intensitas berahi, gagalnya ovulasi, kekurangan implantasi, disintegrasi  embrio dan  aborsi fetus  ( West,  2002).  Peningkatan  temperatur udara, indek temperatur – kelembaban  dan meningkatnya  temperatur rektum  diatas nilai ambang kritis  berkaitan dengan  penurunan  konsumsi bahan kering, produksi  susu dan mengurangi efisiensi  produksi susu ( weiss, 2003).
Perlu dicatat bahwa dampak negatif pemanasan global bukan hanya  terjadi pada  sapi betina, tetapi juga  dapat  mempengaruhi  performans reproduksi jantan.  dan  melaporkan  bahwa meningkatnya temperatur tubuh akibat naiknya temperatur lingkungan  menurunkan  kualitas  semen selama 8 minggu  setelah pejantan  medapat  perlakuan  cekaman  panas (Meyyerhoffer et al.,1985) dan menurunkan motilitas  spermatozoa sapi, tetapi  pengaruh genetik ( bangsa sapi)  bukan faktor penting yang menentukan  kualitas  sperma yang dieyakulasikan setelah mendapat  cekaman panas. (Chandolia, et al., 1999)  
Pada tingkat embrio,  pengaruh cekaman panas terhadap perkembangan embrio, mengurangi  jumlah embrio  tahap dua sel dan empat – delapan sel, tetapi tidak  mempengaruhi  perkembangan morula yang  sedang tumbuh (Edward & Hansen, 1997) .  Selanjutanya  perkembangan  Oosit yang dibuahi menjadi  embrio tahap dua sel  tidak  dipengaruhi cekaman panas, sebaliknya    cekaman panas berpengaruh nyata  terhadap perkembangan   embrio dua sel menjadi  tahap blastosis.  Hal ini membuktikan bahwa  pengaruh meningkatnya temperature  terhadap perkembangan embrio lebih nyata menghambat pada  embryo sapi tahap dua sel disbanding  pada tahap morulla.  Kemampuan tahap awal embrio untuk menahan penyimpangan dalam tingginya temperature merupakan hasil  perkembangan  . Kemampuan yang berhubungan dengan perkembangan embrio dalam mentoleransi cekaman panas  adalah kapasitas memproduksi molekul-molekul  yang terlibat dalam perlindungan terhadap panas ( temperature) seperti  heat shock protein  (hsp) ( Neuer et al., 1999) atau antiseluler ( Arechiga et al., 1955) .  Protein hsp  merupakan protein yang muncul  setelah sel mengalami cekaman panas dan berfungsi menjamin  suatu perlindungan terhadap sel bila terjadi cekaman panas  berikutnya  dan  induksi cekaman lainnya.  ( David & Grongnet, 2001).  Terdapat tiga famili hsp berdasarkan  ukuran berat molekunya, yaitu : 27 kDa, 70 kDa  dan 90 kDa .  Kawarsky dan King  ( 2001) dalam mengidentikasi  dan melokalisasi hsp 70 pada kultur oosit dan embryo sapi melalui teknik  RT-PCR memperlihatkan bahwa  ekspresi  hsp 70 mRNA dibawah kontrol  cekaman panas dan embrio tahap awal  dapat merespon cekaman panas dengan munculnya  hsp70 mRNA dan distribusi hsp 70 dalam plasma sel oosit dan oosit belum matang tidak dipengaruhi oleh pemaparan  peningkatan temperatur.  Protein ini berhubungan erat dengan  pembentukan benang chromatin meiotik yang menunjukkan  pernnya dalam menstabilkan  struktur sel.  Pada embrio  tahap  8 sel dan seterusnya dibawah kontrol kondisi cekaman panas, hsp 70 terutama berdistribusi dalam sitoplasma yang kelihatanya dalam bentuk agregat pada beberapa embrio yang mendapat  pemaparan  peningkatan suhu.  
Namun demikian,  respon  perkembangan embrio  terhadap cekaman panas ini berbeda-beda  menurut bangsa sapi.  Embrio  yang berasal dari betina sapi Brahman  ( Bos Indicus)  lebih resisten  terhadap cekaman panas disbanding  embrio sapi  Holsetein  atau Angus ( Bos Taurus) (Paula-Lopes, et al 2003).  Perbedaan genetic ini juga diperlihatkan  pada termotoleransi untuk respon  apoptosis ( dalam limposit)  terhadap cekaman panas, dimana  sapi  Brahman lebih resisten terhadap cekaman  panas  disbanding  sapi  Holstein  atau Angus. Hal ini  membuktikan  bahwa  sapi-sapi  bos indicus  mempunyai fertilitas yang tinggi bila dipelihara pada daerah yang lebih panas.

Dampak terhadap Konsumsi Pakan
Pengaruh  temperatur lingkungan tinggi  dijabarkan oleh   konsumsi bahan kering menurun, sedangkan konsumsi   air meningkat.  Rendahnya  konsumsi pakan pada ternak ruminansia  merupakan salah satu cara  utama untuk beradaptasi  terhadap temperatur lingkungan tinggi, akan tetapi  pada umumnya disusul dengan penurunan performan  produksi  ( Morand-Fehr & Doreau, 2001).  Peningkatan  sedikit  daya cerna ketika temperatur tinggi tidak dapat menghindar dari kekurangan energi.  Namun  jika ternak mempunyai genotif  beradaptasi baik dengan jenis iklim tersebut, maka damapak  terhadap konsumsi pakan dan performans reproduksi sangat terbatas.   Besarnya penurunankonsumsi pakan pada umumnya lebih rendah  dibandingkan  dengan peningkatan  konsumsi air ( Tabel 1),  tetapi  besaran tersebut  sangat beragam antara percobaan sau dengan lainnya..  Kelihatnnya  bahwa  pada kasus  cekaman panas terbatas, ternak  cenderung meningkatkan  konsumsi  airnya berbarengan dengan sedikit  peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi.

Tabel 1 : Keragaman  konsumsi pakan  pada ternak ruminansia  yang mengalami  cekaman panas


Jenis Ternak
Kondisi
Lamanya
Keragaman
Temperatur
Min          Maks
Jenis Pakan Yang dimakan
Keragaman
Konsumsi
Sapi  Jantan Lokal  muda 15 bulan
Terkontrol

21,5         38,8
Hijauqan
Konsentrat
- 40 %
- 60  %
Sapi Jantan India
Terkontrol
7 hari
18,5          37
Bhn Kering
Air
- 30 %
+  60 %
Sapi  Brahman
Terkonrol
21 hari
22             33
Bhn Kering
Air
- 6  %
+ 12 %
Jantan Muda FH  300 kg
Terkontrol
18              32
Hay Luzerne
Air
- 4  %
+ 500 %
Kambing Liar Australia
Terkontrol
2 minggu
25              45
Bahan Kering
Air
- 64 %
+ 160%
Kambing Saanen  Brazil
Terkontrol
8 hari
26              38
Bahan Kering
Air
-1 %
+ 93 %

Selama cekaman panas, sapi perah betina  mengurangi konsumsi, menurunkan aktivitasnya,  mencari naungan dan angin, meningkatkan  laju pernapasan dan meningkatnya  aliran darah  perifer dan berkeringat.  Respon ini mempunyai dampak negative baik untuk produksi  dan status fisiologis  (McDowel, 1972).
Sapi-sapi yang diberi makan  adlibitum (tak terbatas)  pada lingkungan temperatur nyaman,  diberi makan adlibitum  pada temperatur lingkungan   tinggi,  atau diberi makan  secara terbatas pada temperatur lingkungan nyaman, memperlihatkan  bahwa aliran darah kelenjar mamaenya  menjadi lebih  rendah  dibandingkan dengan  sapi yang diberi makan adlibitum  pada temperatur nyaman., hal ini  diduga  aliran darah kelenjar mamae merespon  terhadap konsumsi bahan kering. (  Lough et al 1990).  Aliran plasma portal berkurang  sekitar 14 %  pada sapi –sapi yang diberi makan  secara terbatas pada temperature nyaman  atau  sapi  pada ltemperatur  cekaman panas bila dibandingkan dengan  sapi-sapi yang diberi makan adlibitum pada temperature nyaman. ( McGuire et al , 1989).  Dapat disimpulkan bahwa   bagian  dampak negatif  cekaman panas  terhadap produksi susu dapat dijelqskan  dengan  penurunan  konsumsi  pakan dan penurunan  penyerpaan nutrisi oleh  pembuluh darah porta alat pencernaa sapi.  Aliran darah bergerak ke jaringan perifer untuk tujuan pendinginan  yang dapat mengubah metabolisme  dan berkontribusi  terhadap  produksi susu rendah selama  cuaca panas. 

Dampak terhadap Produksi susu
Perubahan volume dan komposisi susu
Daerah yang cocok untuk produksi susu sapi perah  berkisar antara 5°C sampai 25°C dengan kelembaban relatif antara 50% sampai 70%, sedangkan suhu yang optimal adalah 10°C. . Daerah yang cocok ini mempunyai kisaran suhu dimana produksi maksimal dapat dicapai, tetapi tidak perlu lebih efisien.  Pada umunya, sapi perah yang mengalami cekaman panas , konsumsi pakannya menurun dan pada waktu bersamaan produksi susunya ikut menurun..  Volume susu yang disekresikan oleh bangsa sapi Eropah (Bos taurus) nyata menurun pada suhu diatas 210 C.  Sedangkan sapi Brahman, yang mempunyai rataan produksi harian relatip lebih rendah pada suhu optimal, tidak dipengaruhi oleh suhu yang tinggi.   Komposisi susu sapi juga ikut berubah selama cekaman panas.  Sekresi lemak susu menurun, tetapi hal ini kelihatanya tidak  berhubungan dengan sekresi cairan susu karena  konsentrasi lemak  dalam susu sangat beragam sesuai dengan bangsa sapinya. Kandungan asam-asam lemak susu juga berubah selama cekaman panas, asam-asam lemak rantai pendek menjadi kurang dominan, sedangkan asam-asam lemak rantai panjang lebih mendominasi.  Proporsi asam-asam lemak jenuh rantai panjang menjadi lebih banyak dan  proporsi asam-asam lemak tidak jenuh menjadi lebih sedikit.  Sekresi laktosa susu menurun dan  konsentrasi laktosa dalam susu menurun perlahan.  Sekresi protein susu dan konsentrasi protein dalam susu juga menurun  Konsenstrasi asam sitrat, kalsium dan kalium pada susu sapi menurun dan konsentrasi kalium pada susu domba juga menurun.  Osmolaritas susu sapi yang diberi perlakuan cekaman panas 30°C dengan pemberian air minum bebas adalah normal, akan tetapi pada domba yang diberi cekaman panas dan mempunyai suhu rektum tinggi, osmolaritas susunya dibawah normal.
Sapi-sapi perah berproduksi rendah  mempunyai toleransi pada suhu yang lebih tinggi dibanding sapi perah berproduksi tinggi, tetapi terdapat perbedaan bangsa yang peka terhadap panas atau dingin (Tabel 1) 

Tabel  1: Pengaruh suhu lingkungan terhadap produksi susu dan konsumsi pakan pada berbagai bangsa sapi .

Bangsa
P r o d u k  s  i      S  u   s   u 
K o n s u m s i     P a k a n
Sapi
10°C                 -13°C                      38°C
Kg/hari          (% produksi  dibanding  10°C)
10°C              -13°C                  38°C   
(Kg TDN per hari)  (%  dari suhu 10°C
Holstein
19                 93                        26
12                   107                21 
Brown Swiss
20                 -                           46         
12                    -                   17
Jersey
14                 46                         38 
   9                   125               32
Brahman
  3                 -                           89
   5                   137              63
    Sumber: Johnson , 1990

Tabel 6.1  memperlihatkan bahwa  gambaran pengaruh  suhu rendah dan tinggi terhadap produksi susu pada empat bangsa sapi. Kebanyakan data ini didapatkan melalui pemberian perlakuan  suhu udara berbeda pada sapi perah betina hanya selama 2 minggu.  Hasil penelitian dengan menggunakan sapi Holstein  yang di pelihara pada suhu 18°C dan 29°C selama periode 9 minggu (Johnson et all, 1967) menunjukkan bahwa satu tahap penyesuaian didapatkan setelah 1,5 - 2 minggu diberi perlakuan panas.   Jadi pada tabel 6.1 menggambarkan pengaruh keragaman jangka pendek faktor iklim , tetapi tidak memperlihatkan  tahap aklimasi sempurna pada lingkungan yang berbeda.. Kelihatanya toleransi tinggi terhadap panas yang diperlihatkan oleh sapi Brahman merupakan pengaruh faktor genetik, tetapi juga mungkin disebabkan oleh produksi susunya yang rendah. Namun demikian, perbandingan data  sapi Holstein dan Brown Swiss memperlihatkan bahwa  ada kemungkinan menseleksi  sapi dengan toleransi tinggi terhadap suhu tinggi pada bangsa sapi yang berproduksio susu tinggi.
Berkurangnya napsu makan dan konsumsi pakan  pada lingkungan panas mengurangi ketersedian zat-zat nutrisi menuju ambing untuk sintesis protein.  Suplai asam-asam lemak rantai pendek hasil fermentasi dalam rumen secara langsung dikurangi.  Suplai glukosa dan asam amino juga menjadi berkurang, tetapi pengaruh lain cekaman panas terhadap katabolisma protein otot dan glukoneogenesis dalam tubuh merupakan tantangan yang potensil.  Suplai asam-asam lemak rantai panjang ke ambing juga menjadi dapat menjadi komplek akibat pengaruh cekaman panas dan ketidak mampuan katabolisme triglyserida pada jaringan adipose.
Hasil penelitian Talib, et al. (2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi perah di Indonesia menjadi 3,2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 oC, jika dibandingkan dengan kadar lemak susu 3,7 % pada temperatur lingkungan 18 – 20 oC. Demikian halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei and Hwang (2002), mendapatkan % lemak susu (3,58 ± 0,49), % protein susu (3,13 ± 0,11) dan % bahan padat bukan lemak (8,87 ± 0,41) dari susu pada sapi yang menderita stres panas dan hasil ini lebih rendah dibanding sapi yang tidak mengalami stres panas, namun kemudian diatasi dengan pemberian ransum dengan keseimbangan energi dan protein.


Dampak Terhadap Pertumbuhan

Lingkungan dengan suhu tinggi pada tahap prenatal sebelum anak sapi lahir dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus.  Sapi -sapi bunting yang dipelihara pada musim panas tanpa naungan menghasilkan anak-anak sapi yang nyata mempunyai bobot badan lebih kecil.  Induk sapi pada kelompok diberi naungan beratnya adalah 598 kg sedangkan pada kelompok tanpa naungan adalah 589 kg, serta anak sapi yang dilahirkan masing beratnya 39,7 vs 36,6 kg untuk tanpa naungan.
Pengaruh panas telah diteliti oleh  Brown  et al (1977) pada anak domba yang dipelihara pada kamar panas (38°C pada siang hari dan 28°C pada malam hari) selama 8 minggu dibanding pada kondisi ranch denga pemberian pakan normal dan kelompok lain dipelihara  pada termonetral dengan pemberianpakan terbatas.  Domba pada kamar panas mempunyai suhu rektum 40,2°C banding 38,8°C untuk kelompok lain dan mempunyai anak domba yang lebih kecil (pertumbuhan kerdil) akibat cekaman panas karena domba betina mempunyai level konsumsi pakan yang sama dengan kelompok di daerah termonetral.
Pada berbagai bangsa sapi, anak sapi  yang baru disapih  mempunyai tingkat pertumbuhan yang berbeda  terhadap suhu kritis tertinggi, dimana kemampuan pertambahan bobot badan pada suhu lingkungan tinggi  (27°C)  dibanding suhu termo netral  (10°C) urutanya adalah sebagai berikut: sapi Brahman, Jersey, Brown Swiss, Holstein, Santa Gertrudis dan Shorthorn (Tabel  2 ).
Tabel 2: Perbandingan pertambahan bobot badan dari enam bangsa sapi berbeda pada  suhu lingkungan .
Bangsa sapi
Suhu
udara
Berat  umur
4 bulan (kg)
Berat umur
12 bulan (kg)
Total PBB selama 8 bulan  (kg)
Perbedaan  Pbb dari nilai 
10°C (kg)
Santa Gertrudis
10
 27
126,1
128,4
342,9
313,0
216,8
184,6
-32,2
Brahman
10
27
112,9
116,9
285,0
297,0
172,1
180,1
 + 8,0
Shorthorn
10
27
 93,0
  73,9
 298,5
209,1
 201,9
135,2
-66,7
Holstein
10
27
  103,5
     95,3
 333,3
302,7
229,8
207,4
- 22,4
Brown swiss
10
27
72,2
89,0
303,3
310,2
229,1
221,2
  -7,9
Jersey
10
27
65,5
56,7
210,0
197,3
144,5
140,6
  -3,9


Tingkat total pertambahan bobot badan adalah tertinggi pada kisaran termonetral jika tingkat konsumsi pakan  adalah konstan.  Karena tingkat akumulasi protein tidak berubah dengan suhu lingklungan jika konsumsi pakan konstan dan proporsi dari lemak dalam pertambhan bobot badan juga tertinggi pada kisaran termonetral. 

Strategi Pengurangan  Dampak  Pemanasan Global

Berdasarkan uraian sebelumnya, bahwa dampak akhir pemansan global adalah cekaman panas , maka upaya – upaya yang perlu dilakukan adalah :
Bagi  peternakan sapi perah yang perlu dilakukan  memodifikasi  lingkungan  mikro  peternakan sapi perah  dengan  cara memberi naungan ,  penganginan / penyemprotan air, perkandangan yang baik, dan penyediaan air pendingin
Memodifikasi genetik tenak, melalui seleksi sapi-sapi yang tahan terhadap cekaman panas  dan/atau   melakukan persilangan  antara sapi yang kurang tahan terhadap cekaamn panas dengan yang tahan panas.   Identifikasi gen-gen  yang mengontrol  karakter yang berhubungan  dengan termotoleran yang memungkinan  seleksi diarahkan  untuk tahan terhadap cekaman panas tanpa  sleksi  yang bertentangan  dengan produksi susu.  Sebagai contoh karakter warna bulu,  gen yang mengontrol  panjang bulu,  gen yang mengontrol resiten seluler  terhadap cekaman panas.( proein cekaman panas)
Peningkatan  kelangsungan hidup embrio melalui transfer embrio.  Hal ini didasarkan kepada beberpa penelitian bahwa  tingkat kematian  embrio pada tahap dua sel lebih tinggi dibanding pada tahap berikutnya ( 8 sel, morula, dan blastula).   Hal ini juga mengurangi kegagalan inseminasi buatan  yang banyak dilakukan pada siang hari dan musim kemarau.
Manajemen pakan  yang baik.  Upaya yang dilakukan adalah pemberian  pakan yang kaya energi pada ternak  yang mengalami cekaman panas.
\
.

Daftar Pustaka
Amundson,J.L., T.L. Mader, R.J. Rasby and Q.S. Hu.  Environmental effects on pregnancy  rate in beef cattle.  2006

Biggers, B.G., R.D. Geisert, R.P. Wettemwn and D.S. Buchanan. . 1987.  Effect of heat stress on early embryonic development in the beef cow. J.Anim Sci. 64:1512 -1518.

Chantalakhana, Ch. And P. Skunmun, 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok.

Edward, J.L. & P.J. Hansen, 1997.  Differential Responses of Bovine Oocytes and
Preimplantation Embryos to Heat Shock.  Molecular  Reproduction and Development 46: 138 – 145. 

Ingraham, R.H., D.D. Gillette, and W.C. Wagner.  1974. Relationship of temperature and humidity to conception rate in holestein cows in a subtropical climate.  J.Dairy Sci. 57: 476-481.

Johnson, H.D. 1980. Environmental management of cattle to minimize the stress of climatic changes. Int. J. Biometeorol. 24: 65-78.
Liang Chou Hsia, 2002. How to Release Heat Stress from Dairy Cattle. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Meyyerhoffer D.C.,  R.P. Wetteman, S.W. Coleman & M.E. Wlls., 1985.  Impact of heat on sperm motility in bulls. J.Anim Sci 60:  352-357.

Paula-Lopes, F.F., C. C. Chase, Jr2, Y. M. Al-Katanani, C. E. Krininger, R. M. Rivera1, S. Tekin, A. C. Majewski, O. M. Ocon, T. A. Olson and P. J. Hansen., 2003. Genetic divergence in cellular resistance to heat shock in cattle: differences between breeds developed in temperate versus hot climates in responses of preimplantation
embryos, reproductive tract tissues and lymphocytes  to increased culture temperatures. Reproduction . 125, 285–294
Sprot L.R., G.E. Selk & D.A. Adams,  2001. Review.  Factors affecting  decisions on when to calve beef females.  Prof. Anim Scientist 17: 238 – 246..

Topp, C.F.E., Doyle, C.J. 1996a. Simulating the impacts of global warming on milk and forage production in Scotland. 1. The effects on dry matter yield of grass and grass-white clover stands. Agricultural Systems 52, 213-242

42.Topp, C.F.E., Doyle, C.J. 1996b. Simulating the impacts of global warming on milk and forage production in Scotland. 2. The effects on milk yields and grazing management of dairy herds. Agricultural Systems 52, 243-270

Valtorta, S.E.  2007Animal production  in a changing climate:  Impacts and mitigation

Lucy, M.C. 2002.  Reproductive loss in farm animals during heat stress. Page 50-53 in Proc. 15th American Meteorological Society Biological Syatems and Aero Meeting.
Talib, Ch., T. Sugiarti and A.R. Siregar, 2002. Friesian Holstein and Their Adaptability to the Tropical Environment in Indonesia. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.


Vincent, C.K, 1972.  Effects of season and high environmrnal  temperature on fertility in cattle:  A review. J. Am. Vet.Med. Assoc. 161:1333-1338

West, J.W.  2002. Physiological effects of heat stress on production and reproduction. Pages 1 – 9 in Proc. Tri –State Dairy Nutr Confr Fort Wayne. IN.

West, J.W. 2003. Effects of Heat-Stress on Production in Dairy Cattle  Journal of Dairy Science Vol. 86: 2131 – 2144.
Yousef, M.K. 1985.  Stress Physiology in Livestock. Vol. 1 : Basic Principles. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar