Sabtu, 28 Januari 2012

Mengkaji Program Sejuta ekor sapi di Provinsi Sulawesi Selatan

Mengkaji  Program  Sejuta ekor sapi  di Provinsi Sulawesi Selatan 


Pendahuluan 
Sulawesi Selatan  pada  tahun  1900-an   merupakan  salah satu  sentra produksi ternak potong  atau lumbung ternak sapi potong yang terbesar  di Indonesia  setelah Provinsi Jawa Timur.  Populasi sapi pada  periode tersebut mencapai  1.235.975 ekor pada tahun 1992, namun  data Sensus  Pertanian  1993 oleh Biro Pusat   Statistik menunjukkan  bahwa populasi  ternak sapi potong di Sulawesi Selatan mengalami penurunan  menjadi   643.250 ekor  pada  tahun 1993.  Data  hasil sensus  ini , pada saat itu,  banyak mendapat protes dari pihak  instansi terkait, dengan alasan  metode yang dipakai BPS  menggunakan teknik  sampling.  Terlepas dari  pro dan kontra  data laporan  populasi  sapi potong versi BPS,  Pemerintah  Daerah Sulawesi Selatan  pada tahun  2008 ,  program Gubernur Baru ,  telah mencanangkan  Program Revitalisasi  Inseminasi Buatan  dalam rangka mencapai  target populasi sapi potong di Sulawesi Selatan  sebanyak  satu  juta ekor pada tahun 2013.  Dengan populasi  sebesar itu diharapkan Sulsel  dapat  mengekspor  ternak hidup , baik sebagai  ternak  bibit maupun ternak potong, yang mana pasar masih terbuka lebar baik keluar negeri ( Malayasia, Brunai dan Arab Saudi) maupun  untuk perdagangan antar pulau ( Kalimantan , Jawa).  
Tiga  faktor  utama yang perlu  diperhatikan dalam mengembalikan  provinsi Sulsel  sebagai lumbung ternak sapi potong. Pertama,  bagaimana  kondisi  peternakan  di Sulawesi Selatan , terutama  mengenai berapa  tingkat laju kenaikan populasi secara  alamiah  ( natural increase) , laju pemotongan ( jantan  potong maupun betina ) ,  tingkat kelahiran alam maupun hasil kawin suntik ( inseminasi buatan ) , struktur populasi betina  produktif, sehingga  dapat diestimasi  berapa sapi  yang dapat diekspor setiap tahunnya dan  sampai berapa kali Sulsel  mampu mengkespor   Faktor kedua   yang perlu dipertimbangkan  adalah  luas geografi  Sulsel  tidak seperti  Sulsel dulu sebelum  tahun 2000-an, karena  Provinsi Sulsel  sudah dimekarkan  menjadi  dua provinsi, yaitu  Sulsel dan Sulbar sehingga daya dukung wilayah  untuk  peningkatan populasi  sapi potong juga berkurang.   Faktor terakhir, pada era otonomi  daerah,  telah terjadi   penggabungan beberapa satuan kerja perangkat daerah atau SKPD di tingkat pemerintah kabupaten/kota merupakan kerangka efisiensi kelembagaan pembangunan di Sulawesi Selatan   Namun demikian,  pada beberapa  kabupaten,  penggabungan menjadi   salah kaprah sehingga pembangunan peternakan  yang  difokuskan kepada percepatan  peningkatan populasi  ternak potong menjadi pudar dan tidak tentu arah. Perlu dilakukan pengkajian yang saksama dan arif ditinjau dari berbagai sudut pandang dan esensi dasar pembangunan itu sendiri, yaitu bahwa peternakan merupakan subsektor yang strategis dalam pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia (SDM).

Mengapa terjadi penurunan populasi sapi ??

 
Penurunan  sapi potong  selama periode  tahun 2002 – 2006  sebanyak  - 2,63 % per tahun , hal ini  diduga  penyebabnya adalah:  (1). Tidak seimbang antara produksi  dan permintaaan  daging, (2). Tingginya angka pemotongan ternak betina produktif dan kesadaran  masyarakat/peternak akan meminimalkan  pemotongan betina produktif masih rendah, (3) Rendahnya angka kelahiran  dan  panen  pedet, (4). Tingkat pengeluaran ternak sapi dan kerbau untuk tujuan perdagangan antar pulau tidak terkontrol, terutama yang dilakukan pedagang antar pulau illegal, (5). Hilangnya daerah penyangga populasi yang masuk dalam wilayah Sulawesi Barat, dan (6) Tidak adanya  pembibitan  terprogram
Pada awal tahun 1990-an Sulawesi Selatan pernah mencapai angka populasi 1,2 juta ekor dan menjadi pusat produsen bibit dan sapi yang menyuplai kebutuhan nasional, maka pada saat ini justru memperlihatkan trend yang menyedihkan.  Memasuki tahun millenium jumlah populasi sapi hanya mencapai 718.164 ekor, tahun 2001 menjadi 722.452 ekor, dan tahun berikutnya  cenderung menurun seperti pada tahun 2006 menjadi 637.128 ekor. 
Faktor penyebab penurunan diatas  telah  dibuktikan dengan kajian data tingkat pemotongan tingkat pengeluaran sapi,  tingkat  pemasukkan dan tingkat kelahiran pada tahun  2005.  Berdasarkan laporan, total populasi ternak sapi potong pada tahun 2005 adalah 594.316 ekor, jumlah betina dewasa sebanyak 237.726 ekor (diperkirakan 40%) dan 30 % akseptor kawin alam ~ 178.295 ekor dan tingkat kelahiran alami diperkirakan 20 %.  Atas dasar itu telah diperoleh  persentase  pertambahan populasi ( pemasukan sapi, kelahiran baik hasil IB maupun kawin alam) mencapai 7, 42 % , sedangkan  persentase  pengurangan populasi ( pemotongan, pengeluaran ternak dan kematian)  mencapai 13,29%  sehingga laju penurunan populasi per tahun  adalah – 4,59 %.   Namun demikian,  menurut Laporan Statistik Peternakan 2008, pada tahun 2006 jumlah populasi sapi sebanyak 637.128 ekor dengan  persentase  pertambahan populasi  mencapai 26,32 % , sedangkan  persentase  pengurangan populasi  mencapai  17% %  sehingga terjadi laju kenaikkan  populasi per tahun  adalah 9,32  %. dan  jumlah populasi  tahun 2007  sebanyak 668.622 ekor.  Perbedaan utama  data diatas disebabkan karena adanya perbedaan  tingkat kelahiran, pada tahun  2005 tingkat kelahiran hanya dicapai  20% dari populasi betina , sedangkan pada tahun 2006  diperoleh  26,04 %. dari  total populasi.

Data laju penurunan populasi  (tahun 2005) diperparah dengan  data tingkat pemotongan  sapi betina  produktif, yaitu   tingkat pemotongan betina  produktif  di RPH : 39,22 %   dan luar RPH : 44,57% dari total sapi yang dipotong  atau  sebesar  40,76 % dari total sapi yang dipotong.  Data diatas menunjukkan bahwa  faktor penentu  berkurangnya sapi lebih besar dari faktor  penentu  pertambahan sapi, sehingga setiap tahun populasi sapi akan terus berkurang kalau tidak ada upaya-upaya terobosan yang strategis.   Berdasarkan  rasio sapi jantan yang di potong terhadap sapi betina pada beberapa daerah menunjukkan  rasio jantan:betina lebih sempit (1,3 : 1) di Kabupaten Gowa, Barru, Bantaeng, Wajo dan Palopo.  Hal ini berarti  bahwa  jumlah  sapi betina  yang dipotong sama banyaknya  dengan sapi jantan.  Konsekuensi  dari rasio ini  menyebabkan  induk bibit betina  semakin berkurang dan dampaknya tingkat kelahiran juga semakin berkurang.  Tingginya  pemotongan sapi betina, karena dilapangan jumlah sapi jantan  potong sangat terbatas serta pedagang ternak  lebih suka membeli betina karena harganya lebih murah dibanding ternak jantan. .
Faktor lain yang menentukan program peningkatan populasi sapi adalah tingkat kelahiran, baik hasil kawin alam maupun hasil kawin suntik ( inseminasi buatan).  Berdasarkan  sasaran  Rencana  Strategis Pembangunan  Peternakan  2003 – 2007 yang berhubungan dengan peningkatan populasi ternak adalah  terjadi peningkatan  rasio jumlah inseminasi per kebuntingan (Services per conception (S/C))  dari 2 menjadi 1,5 dan tingkat kebuntingan (Conception Rate)  dari 50 % menjadi 70 %, namun sasaran ini   belum  bisa dicapai.  Data kajian program inseminasi buatan (IB)   tahun 2004–2006   ( Sonjaya 2007)    menunjukkan bahwa :
n  Target betina akseptor (% betina yang diinseminasi) sangat rendah, rata-rata tiap tahunnya  5,14 – 6,8 % dari populasi betina induk akseptor (asumsi jumlah induk akseptor  adalah  30% dari total populasi).
n  Secara umum % realisasi IB dari target betina akseptor adalah 61% (kisaran  32 – 92%) dengan rataan S/C berkisar antara 3,28 - 4.05, (bila tidak dihitung  2 kabupaten yang jelek keberhasilan IBnya, maka S/C mencapai 2,42- 2,52)  tingkat kelahiran (CR)  dari betina yang di IB : 52,9%
n  Kabupaten  yang melaksanakan  program IB  tidak konsisten dalam  mempertahankan  keberhasilan program IB nya.
Dari  dua puluh tiga kabupaten, terdapat  7  kabupaten yang tidak   melaksanakan program IB (Selayar, Jeneponto, Soppeng, Wajo, Pangkep, Palopo, Makassar) dan kabupaten Pinrang dan Pare-Pare memperlihatkan kinerja IB yang sangat rendah.  Hal-hal di atas  akan berdampak kepada tingkat kelahiran hasil program inseminasi buatan (IB) sangat rendah bila dibanding dengan potensi jumlah populasi betina akseptor dan laju penurunan populasi  akan  tinggi. 
Pemerintah pusat melalui program Percepatan  Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS)  telah memberikan  tugas kepada  Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2006  untuk berkontribusi dalam tambahan target penyediaan daging tahun 2010 sebanyak 6,16 % atau setara dengan 7.052 ton daging atau setara dengan tambahan populasi/kelahiran sebanyak  38.106 ekor.  Untuk mencapai sasaran tersebut, maka Sulsel harus memberikan kontribusi  tambahan akseptor IB sebanyak 32.483 ekor dan akseptor kawin alam 29.986 ekor.  Untuk memenuhi target tersebut, dengan menggunakan data awal populasi tahun 2006 sejumlah  687.255 ekor,  maka : 
         Jumlah betina dewasa diasumsikan  42 % dari total populasi  ~  288.467 ekor
         Jumlah betina  akseptor  30 %  dari total populasi  ~  202.053 ekor
         Program  Reguler :
o   Akseptor IB  sejumlah: 21.500 ekor;  Kelahiran hasil IB: 7525 ekor  (39%)
o Akseptor  kawin Alam (KA): 126.116 ekor; Kelahiran  KA: 25.223 ekor (25,2%)
         Program  Percepatan:
o   Akseptor  IB  sejumlah: 18.739  ekor;  Kelahiran hasil IB: 13.117  ekor (70%)
o Akseptor  Kawin alam: 35.699 ekor, Pejantan: 248 ekor, Kelahiran  24.989 ekor (42%)

Berdasarkan data diatas, untuk mendapatkan tambahan kelahiran (populasi sapi dewasa)   sebanyak  38.106 ekor  Provinsi  Sulawesi Selatan  c/q Dinas Peternakan  harus menyediakan  betina akseptor tambahan  sebanyak  54.438  ekor dan  pejantan sebanyak  248 ekor  untuk tujuan  kawin alam.    Permasalahan ternak ini sangat sulit di lapangan, misalnya  untuk  penyediaan  pejantan,  pada setiap  hari raya qurban Iedul Adha,  ratusan sampai ribuan ekor jantan dipotong setiap tahunnya, termasuk calon pejantan dan pejantan berkualitas.  Tetapi pemerintah daerah tidak memanfaatkanya  untuk menseleksi  dan  membeli pejantan dimana  pada periode tersebut  merupakan upaya yang tepat untuk menseleksi pejantan yang ada dilapangan.   Jumlah betina akseptor  sebaiknya berasal dari luar provinsi  Sulawesi Selatan atau sapi betina impor (sapi bunting), jika sapi betina akseptor disediakan  berasal  dari dalam provinsi maka  tidak ada penambahan  populasi.  
Pertanyaannya sekarang  adalah  mampukah  pemerintah daerah  Provinsi Sulawesi Selatan , cq Dinas  Peternakan,  menyediakan  betina akseptor  dan pejantan sebanyak   itu ?     Apakah ada strategi lain untuk mencapai target  sejuta ekor pada tahun  2013 ?   Berapa persen  laju peningkatan populasi  sapi per tahun, dengan kondisi populasi sapi sekarang,  yang harus dicapai  untuk mencapai target yang telah ditetapkan.  Masih banyak  pertanyaan  yang perlu  dicari  solusinya  dan dijabarkan  dalam bentuk  program aksi  di masyarakat.
Selain trend penurunan populasi sapi di Sulawesi Selatan, penurunan kualitas genetik dan reproduksi juga terjadi.  Parameter reproduksi seperti calf crop (tingkat kelahiran) turun dari 16 bulan menjadi 20 bulan, berat lahir turun dari rata-rata 15,9 kg turun menjadi 11,5 kg dan umur melahirkan pertama semakin melambat dari 28,57 bulan menjadi 41,8 bulan.  Hasil survei di sentra pengembangan sapi Bali murni kabupaten Barru dan di daeran bukan pengembangan sapi Bali, kabupaten Maros dan Gowa, menunjukkan bahwa adanya penurunan kondisi eksterior  dan memperoleh sapi jantan dengan berat 275 – 300 kg sudah sangat susah (Sonjaya dkk 2007). Berdasarkan PERMENTAN No: 54/Permentan/OT.140/2006.  Ukuran tubuh sapi Bali jantan berumur  24 – 36  bulan, tinggi gumba kelas I  adalah minimal 119 cm dengan panjang badan  minimal 121 cm, sedangkan untuk betina berumur  18 – 24 bulan, tinggi gumbanya  minimal 105 cm dengan panjang badan minimal 104 cm.  Ukuran tubuh sapi  Bali sekarang  di Sulawesi Selatan umumnya  berada kelas II bahkan sampai kelas III, tinggi pundak sapi Bali jantan hanya berkisar 111,33 – 112,22 cm.  Hal ini menunjukkan bahwa  bukan saja  jumlah ternak sapi potong yang perlu ditingkatkan, akan tetapi juga  perlu sinergi dengan peningkatan  mutu bibit sapi sehingga sapi selain bisa dijual, juga daya saing kualitasnya tinggi.

Pembelajaran  ( Learning Lesson)  dari  Program  Peningkatan  Populasi  Ternak
Program peningkatan populasi yang  telah  dilakukan  pemerintah melalui berbagai kegiatan antara lain: meningkatkan angka  kelahiran dan impor ternak. Salah satu cara meningkatkan angka kelahiran adalah melalui penggendalian pemotongan sapi betina.. Namun  fakta di lapangan  membuktikan bahwa pengendalian pemotongan betina sulit untuk dilakukan karena peternak rakyat relatif miskin, penjualan ternak merupakan  sumber penghasilan. Pencegahan pemotongan hanya dapat dilakukan jika ada yang membeli untuk dipelihara lagi dan itu hanya mungkin oleh pemerintah.  Perlu  adanya program yang bertujuan untuk meningkatkan bisnis peternak melalui  pola-pola Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).  Pola  ini akan memunculkan beberapa implementasi diterapkannya prinsip-prinsip participatory planningpelayanan yang terdesentralisasi  dan  sesuai dengan kebutuhan  petani  (local spesific).    Bantuan langsung masyarakat tersebut dikelola oleh  kelompok peternak yang  prinsipnya bergulir  (revolving)  dan dapat memberikan perkuatan modal kelompok serta  dapat digunkan untuk membeli sapi betina produktif yang akan  dipotong.
Peningkatan angka  kelahiran dapat juga dilakukan dengan meningkatkan jumlah kebuntingan pada ternak  betina  produktif, baik melalui  intensifikasi  program inseminasi buatan (IB)  maupun mengimpor  ternak betina  yang telah dikawinkan..  Pelaksanaan peningkatan angka kebuntingan dan produktivitas  melalui IB  pada ternak  sapi potong  dan kerbau  di lapangan  menghadapi beberapa  kendala (Tolihere 2004) , antara lain: (1)  Sistem beternak sapi potong dan kerbau umunya  ekstensif / liar digembalakan / dilepas di padang rumput luas atau di hutan, sehingga  menyulitkan untuk pelaksanaan IB.   (2).  Sistem peternakan  sapi potong dan kerbau bersifat tradisionil dan individual, sehingga sulit untuk diubah pola pikirnya untuk mengikuti sistem  peternakan modern dan dihimpun dalam suatu sistem kerjasama kelompok atau organisasi sosial.  (3).  Penyediaan pakan ternak  sangat tergantung kepada alam, dalam hal ini, pada waktu  musim tertentu dimana  kuantitas dan kualitas  kurang baik  akan berdampak  negatif terhadap kondisi tubuh  ternak  dan akhirnya juga berdampak buruk  terhadap  aspek reproduksinya.  (4).  Inseminator  yang mengelola  IB pada sapi potong adalah  umunya tenaga  teknis yang kurang terlatih ( jam terbangnya rendah) dibanding  inseminator pada sapi perah.  (5).  Saran dan  prasarana yang belum memadai , seperti  motor,  akan menghambat kelancaran  pelaksanaan IB.  Pada beberapa daerah  di Sulawesi,  adanya  usaha – usaha penggemukkan  menyebabkan  sapi dan kerbau  jantan muda  langsung  dipelihara secara intensif atau diikat di bawah pohon sehingga  kawanan sapi betina  berahi yang digembalakan  tidak bisa  kawin  secara alam dan hal ini menyebabkan  jarak kelahiran panjang  ( 2 – 3 kali beranak per 5 tahun ) dan tingkat kelahiran rendah  ( Sonjaya dan Thamrin, 1996, Sonjaya 2007).   Pembentukan  kelompok IB mandiri  merupakan  usaha  yang  perlu  dikembangkan terus pada berbagai  kabupaten, karena hanya  kelompok peternak  yang sadar akan  perlunya teknologi  inseminasi buatan  yang dapat menunjang peningkatan populasi pada peternakan rakyat.  
Impor sapi betina  yang bertujuan  menambah populasi betina  produktif ternyata  tidak  mencapai sasarannya, karena  setelah  dipelihara oleh peternak  sebagian besar sapi betina impor tersebut  memperlihatkan gangguan reproduksi  yang mengarah ke infertilitas sampai sterilitas.   Impor ternak bakalan untuk memenuhi  kebutuhan daging  berhasil menekan pemotongan sapi local pada beberapa daerah, tetapi  berdampak negatif terhadap usaha penggemukkan sapi lokal, terutama  peternak rakyat dan perusahaan  peternakan serta pedagang antar pulau.  Hal ini berdampak buruk terhadap  usaha  peternakan sapi lokal, Demikain juga , impor  offal / jeroan sapi yang mencapai 90% dari total Bahan Asal Hewan (BAH) merupakan ancaman yang sangat besar bagi usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Harga offal impor yang murah saat ini digunakan untuk mensubstitusi daging yang pada akhirnya membuat harga daging sapi terdistorsi  Dampaknya  menciptakan kurang bergairahnya usaha peternakan ternak  potong  pada  peternakan rakyat. 
Pada proyek PUKATI  yang bertujuan  untuk mendistribusikan  dan pengembangan  ternak, khususnya sapi  tidak banyak  membantu peningkatan populasi ,  yang terjadi terjadi hanya  perpindahan ternak antar kabupaten dalam satu propinsi atau perpindahan ternak antar propinsi dalam satu kawasan regional.
Program  Gerakan Optimalisasi  Sapi  ( GOS)  mempunyai tujuan yang sama   dengan proyek PUKATI  bertujuan untuk meningkatkan  populasi sapi dan   distribusi di kantong-kantong produksi sapi  di berbagai kabupaten, keberhasilannya masih belum  sesuai dengan harapan.  Permasalahan di lapangan  mulai dari  kualitas bibit sapi yang disebarkan  kurang memenuhi  persyaratan bibit, calon penerima  kurang  berpengalaman ,  kesiapan kelompok  tani dalam menyediakan  pakan ternaknya dan memeliharanya sampai kurangnya  pendampingan  (penyuluhan)  menyebabkan  terlambatnya  bibit sapi melahirkan  dan  tingkat kelahiran rendah.
Berdirinya Balai Inseminasi Buatan  Daerah (BIB-D) pada awalnya adalah merespon kebijakan Pusat  dalam rangka mendekatkan produsen semen dengan pengguna dalam memenuhi semen secara Tepat Waktu, Tepat Breed dan Tepat Jumlah (3T),  sehingga diharapkan dapat meningkatkan jangkauan pelayanan IB kepada para peternak.   Namun  peran BIB-D  Sulawesi Selatan yang ada di Puca,  Kabupaten Maros belum mencapai  target tujuannya secara optimal karena  berbagai kendala teknis dan dukungan biaya operasional dari pemerintah daerah belum maksimal.   Kuantitas dan kualitas  produk semen beku  masih belum dapat memenuhi  sasaran yang diinginkan. Pejantan  unggul  bangsa sapi impor (Limousin, Simmental, Brahman )  tidak semuanya  dapat bereproduksi, demikian juga pejantan sapi Bali asal NTB  dan Brahman Cross  belum berproduksi  karena kendala teknis.  Namun demikian, permasalahan  lain  adalah  belum dilakukannya  sistem penjaminan mutu  untuk meningkatkan kualitas  produk semen beku, sehinga tingkat kepercayaan inseminator  masih rendah dan lebih suka menggunakan  bibitr semen beku dari BIB Singosari atau  Lembang.
Kelembagaan  kelompok peternak  pada masa lalu berdiri bukan atas kesadaran  sendiri  untuk memperjuangkan kebutuhan sarana produksi ternak secara berkelompok, tetapi lebih ditekankan untuk memenuhi kebutuhan proyek.  Hal ini disebabkan pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan di Indonesia, lebih  mengikuti kebijakan top down,  masyarakat  peternak / petani kurang  diberi  penyuluhan tentang pentingnya berkelompok dalam menangani masalah pembangunan peternakan. Hal ini menyebabkan sikap masyarakat selalu tergantung pada pemerintah, kurang kreatif dan bersifat menunggu, sehingga pembangunan peternakan sulit berkelanjutan, meskipun sumberdaya ternak dan daya dukung bersifat renewable. Oleh karena itu, agar berkelanjutan diperlukan peran nilai kearifan dan kualitas sumberdaya manusianya yang bisa dilakukan melalui penguatan sosiokultural. Penguatan sosiokultural pembangunan peternakan bisa dilakukan dengan penataan, pemantapan dan  pengembangan ide, nilai, norma, gotong royong, cognitive social capital dan jaringan sosial ekonomi.

Strategi Pencapaian  Sejuta ekor  Sapi  di Sulawesi Selatan
Untuk mencapai  target sasaran sejuta ekor pada tahun 2013, dengan modal awal jumlah populasi pada tahun 2007 sebanyak 668.622 ekor,  maka tingkat laju kenaikkan populasi secara alamiah ( net natural increase)  minimal  harus 9 % per tahun.  Dalam mencapai sasaran tersebut Pemda  Sulawesi Selatan perlu  memfokuskan pada  langkah operasional , sebagai berikut: (1) .Memacu kegiatan IB melalui optimalisasi akseptor, (2) Perbaikan kawin alam melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek, (3)  Pengamanan gangguan reproduksi dan kesehatan  ternak sapi, (4). Penjaringan dan penyelamatan betina produktif.,  (5) Pengembangan dan pemanfaatan pakan lokal,  (6). Pengembangan SDM dan kelembagaan., dan  (7)  Penyediaan induk/bibit
Jumlah  akseptor  sapi betina  untuk  inseminasi buatan  perlu ditingkatkan  dari  6,8 %  pada tahun 2006  harus ditingkatkan  lebih dari 50 %  dari populasi betina  akseptor yang ada diseluruh provinsi Sulawesi Selatan.  Sisanya akseptor sapi betina  bisa  dikawinkan  dengan pejantan  secara kawin alami, khususnya  didaerah-daerah yang tidak terjangkau dengan program IB.  Demikian juga, indikator-indikator keberhasilan  IB seperti S/C yang rata-rata  2,5  perlu diturunkan menjadi   rataan 1,5, dan tingkat kelahiran hasil IB  harus ditingkatkan  dari 30 %  menjadi lebih dari 70 %. Jumlah  akseptor  program kawin alami dan kelahiran KA, persentase akseptor kawin alam   untuk tahun 2006  belum terinventarisasi dengan baik demikian juga kelahiran hasil kawin alam, tetapi diduga sangat rendah karena keterbatasan pejantan di lapangan.  Oleh karena itu  perlu meningkatkan ketersedian pejantan berkualitas  pada daerah yang tidak terjangkau oleh program  IB  dan meningkatkan kelahiran  kawin alami.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sapi betina  yang akan dipotong  di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ,  4-5 %  betina  bunting dan  7 – 9% betina  produktif.  Hal ini mengurangi  jumlah sapi betina akseptor IB sebanyak 15 % pertahun .  Penyelamatan  sapi betina produktif  masih  relatif rendah jumlahnya, data tahun  2001 – 2004 , rata-rata  yang diselamatkan  sekitar 40 ekor betina produkstif, tahun 2005 meningkat menjadi 247 ekor dan  tahun 2006 sebanyak  600 ekor.  Rendahnya  betina produktif yang diselamatkan karena  ketersediaan dana APBD dan APBN  yang sangat terbatas, keterbatasan  kemampuan petugas RPH, integritas  aparat keamanan dan lemahnya pengawasan  pemerintah  kabupaten dan kota.   Tindakan penyelamatan  sapi betina produktif sebaiknya  dilakukan oleh kelompok peternak mandiri melalui  dana  Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dengan sistem bergulir ( revolving) , tidak perlu oleh pihak Dinas Peternakan dan pihak dinas hanya sebagai fasilitator saja, sehingga biaya anggaran proyek penyelamatan  lebih kena sasaran dan dapat membeli  betina produktif yang lebih banyak.  Penyelamatan betina produktif juga  harus menyentuh  larangan  perdagangan  sapi bibit betina  ke daerah lain. Hasil survai  tahun 2007 memperlihatkan masih  ada pedagang ternak  yang mengantongi izin  untuk mengeluarkan sapi bibit  betina  ratusan ekor  ke  Provinsi Gorontalo. Sebaiknya  perdagangan sapi antar  Provinsi distop dulu  sampai populasi  sapi  melebihi satu juta ekor.    
Pengamanan gangguan reproduksi dan kesehatan  ternak sapi betina di sentra-sentra produksi sapi potong  perlu dilaksanakan secara berkesnambungan, khususnya terhadap penyakit  Brucellosis, Anthrak  Penyakit Ngorok (SE), Diare dll . Dengan adanya  penyakit gangguan reproduksi, maka tingkat kelahiran anak akan rendah dan jarak kelahiran akan panjang.   Penyebaran vaksin  dan biaya operasional  perlu disiapkan setiap tahunnya, khususnya pada daerah-daerah  pusat endemi.  Pada era otonomi daerah sekarang, bibit vkasin sebagian disuplai oleh pemerintah provinsi, tetapi biaya operasionil  untuk program vaksinasi  tidak disediakan dan pemerintah kabupaten juga tidak menglokasikan dana tersebut, sehingga program vaksinasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan  data  survai limbah  tanaman pangan  sebagi sumber pakan ternak  menunjukkan  jumlah produksi bahan kering limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan adalah  5,883,996 ton bahan kering, dimana produksi  bahan kering jerami padi terbesar sebanyak  4,312.125 (73,29%) , disusul jerami jagung sebanyak 1.167,874 (19,68%), jerami kacang tanah 113.028 Ton,  dan jerami  kacang hijau 113.028 ton ( 1,92 %)  ( Jasmal 2006).  Dari data tersebut, menunjukkan  jerami padi  dan jerami jagung memiliki  produksi  yang cukup tinggi dibanding  limbah tanaman pangan lainnya. Dari data potensi total bahan kering, jika seekor sapi dewasa mengkonsumsi  5 kg/ekor/hari  bahan kering, maka diperkirakan   jumlah sapi yang dapat dipelihara sekitar 3.055  ribu ekor sapi per tahun.   Belum lagi limbah yang berasal dari perkebunan kelapa sawit  dan coklat yang masih belum  dikaji pemanfaatannya secara maksimal.  Permasalahan di lapangan adalah  masalah penyuluhan  bagaimana pemanfaatan  limbah  dengan memanfaatkan teknologi pakan  dapat diadopsi  oleh para peternak.
Pengembangan Sumberdaya Manusia  dan kelembagaan peternakan  merupakan faktor  penentu dalam program peningkatan populasi.  Penguatan kelembagaan yang ada dilakukan dengan  mengubah paradigma  kebijakan pembangunan peternakan asalnya bersifat Top Down  menjadi kebijakan berasal dari  akar rumput atau bottom upPenataan, pemantapan dan pengembangan ide untuk membangun peternakan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengubah ide dan gagasan yang dulu dari pemerintah menjadi dari masyarakat atau pendekatan top down menjadi bottom up planning.   Salah satu kasus  yang menarik di lapangan dan bersifat  top down adalah pembuatan  kandang kelompok  dalam program  GOS ( Gerakan Optimalisasi Sapi Potong) , dimana setiap kelompok ternak  mendapat  75 ekor sapi  untuk dipelihara secara kelompok dan mendapat  kandang ternak  kelompok yang didanai dari program tersebut.  Ternyata kandang  kelompok  yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan peternak, dibuat oleh kontraktor tanpa konsultasi dengan kelompok peternak, didirikan  ditanah pribadi ( kepala desa /ketua kelompok) bukan tanah negara /tanah wakaf,  akhirnya  para peternak kembali seperti semula dipelihara  di tempat masing-masing ( di kolong rumah) , dengan berbagai alasan; terlalu jauh untuk kontrol ternak, kesulitan jaga malam di kandang kelompok, tidak semua anggota berkomitmen dalam memelihara ternak secara berkelompok dll.  Fakta tersebut merupakan kebijkan yang bersifat dari atas tanpa memerhatikan situasi, kondisi dan kebutuhan kelompok peternak. Upaya-upaya yang perlu  dilakukan untuk penguatan  kelembagaan kelompok peternak (1). Penataan, pemantapan dan pengembangan cognitive social capital melalui pemahaman arti hidup dalam hubungan dengan alam sekitar bersikap adi luhung, ( 2) Penataan , pemantapkan dan  pengembangkan jaringan struktur sosial ekonomi peternak dilakukan dengan pembentukan modal, meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan koperasi, memotivasi kerja untuk meningkatkan produktivitas dan melakukan penyambungan kembali hubungan antar kelembagaan terkait yang telah terputus, dan (3) Penataan, pemantapan dan pengembangan penggunaan teknologi peternakan melalui kelayakan teknis, meliputi  keterjangkaun teknologi, biaya terjangkau, dan bersifat compatable dengan lingkungan sosial.
Penyediaan induk/bibit  sapi  Sulawesi Selatan telah dilakukan  dengan berbagai program, seperti PUKATI, GOS,  Penyelamatan Betina Produktif  dan telah mencanangkan  anggaran  P2SDS 2010  untuk  pengadaan sapi betina bunting  ex impor sebanyak  2100 ekor, pengadaan sapi  Bali betina  6000 ekor dan  pembelian  sapi Betina produktif   4500 ekor  selama periode  2008 – 2010.   Dari data ini terlihat bahwa  pengadaan  jumlah betina  akseptor  masih belum mencukupi  dari target tambahan  yang telah ditetapkan  dalam program P2SDS,  pengadaan jumlah sapi Bali  dan pembelian sapi Betina produktif  kalau tidak berasal dari luar Sulsel  tidak akan menambah jumlah akseptor  baik untuk akseptor IB maupun kawin alam.
Faktor yang lebih penting yang menentukan keberhasilan  program sejuta ekor sapi di Sulwesi Selatan adalah partisipasi dan keterlibatan pemerintah kabupaten / kota dalam melaksanakankegiatan program yang telah dicanangkan , baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Hal ini disebabkan beberapa fungsi pembangunan peternakan berada pada posisi di departemen/sektor lain. Misalnya, di sektor perdagangan, industri, perbankan, dan badan usaha logistik. Belum lagi dengan kebijakan otonomi daerah, yaitu fungsi dan peran SKPD di daerah sering kali "tidak terhubung" dengan dinas sejenis di tingkat provinsi atau pusat. Dampaknya, kebijakan sektor pertanian, dhi Sub-sektor peternakan,  sering kali menjadi terkatung-katung. Beberapa contoh kasus, antara lain program swasembada daging sapi, menurut beberapa hasil evaluasi, dukungan pemerintah di tingkat kabupaten / kota / provinsi terhadap program nasional ini hanya sekitar 30 persen. Kesimpulannya, program yang cukup baik tersebut tentu tidak akan berhasil dengan baik karena tidak didukung (tidak mengakar) di tingkat operasional (kabupaten/kota dan provinsi).  Dengan memperhatikan  dan menjalankan langkah-langkah operasional   yang disebutkan diatas, Insya Allah  program sejuta ekor pada tahun 2013 bukan  program mimpi tapi dapat terealisasi . 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar