Sabtu, 28 Januari 2012

PENAJAMAN PROGRAM PENGEMBANGAN TERNAK RUMINANSIA POTONG KE ARAH SWASEMBADA DAGING

PENAJAMAN  PROGRAM  PENGEMBANGAN  TERNAK RUMINANSIA  POTONG  KE ARAH  SWASEMBADA  DAGING[1]
Oleh  : Herry Sonjaya


[1] Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya bidang peternakan  Forum Kerjasama Delapan Perguruan Tinggi.  30 Sptember – 2 Oktober 2005. Kupang. NTT


Pendahuluan
Kebijakan program  swasembada daging  untuk ternak potong  tahun 2005 merupakan program     pembangunan peternakan yang dirumuskan pada tahun 2000 dan berakhir 2004.   Salah satu visi pencapaian swasembada itu adalah haruslah mengandalkan sumberdaya lokal, dalam hal komoditi ternak  adalah ternak potong  lokal.  Dalam hal ini pemerintah telah  menetapkan beberapa kebijakan strategi sebagai   berikut:
  1. Pengembangan wilayah berdasarkan komoditas ternak unggulan.
  2. Pengembangan kelembagaan petani peternak.
  3. Peningkatan usaha dan  industri peternakan.
  4. Optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal
  5. Pengembangan kemitraan yang lebih luas dan saling menguntungkan
  6. Mengembangkan teknologi tepat guna  yang ramah lingkungan.
Sasaran utama  dari  enam  program ini adalah  peningkatan populasi ternak potong, khususnya ruminansia potong,  penurunan impor sapi bakalan  dan  peningkatan pemotongan  sapi  local.  Namun demikian , tidak ditemukan referensi yang menjelaskan ke enam   program ini secara rinci. 
Berbagai  program  telah  dilakukan oleh pemerintah  untuk mengimplementasikan dan  mendukung kelancaran  pelaksanaan  program , seperti program  PUKATI  ,  Inseminasi Buatan ,  Crop-livestock System (CLS) ,  bantuan modal untuk peternak  kecil dan menengah, penyebaran  pejantan-pejantan unggul ke berbagai propinsi dan pendirian  Balai-balai Inseminasi Buatan Daerah  dll .  Namun keberhasilan  dari  program swasembada  ruminasia potong tahun 2005  dapat dikatakan  tidak berhasil  berdasarkan criteria pencapaian sasaran utama program.  Pada kenyataannya, populasi, ternak sapi potong terus  menurun, impor sapi bakalan meningkat sepanjang tahun dan pemotongan sapi  menurun.  (  Pusat  penelitian dan Pengembangan  Sosial Ekonomi Pertanian LITBANG – DEPTAN, 2004).   Fakta di lapangan  menunjukkan  bahwa  beberapa  jenis ternak ruminansia  potong andalan Indonesia , seperti sapi Bali, Kerbau  Sumba , Domba Ekor  Gemuk dll.  cenderung menurun  dan kalau tidak ada upaya – upaya pelestarian  dan pengembangan akan mengarah ke kepunahan. 
Pada tulisan ini, penulis  akan mencoba  membahas permasalahan - permasalahan yang  menyebabkan  ketidakberhasilan  program  swasembada daging dan mencoba memberikan  penajaman untuk mengembangkan ternak ruminasia potong ke arah swasembada saging.

Kondisi  Permasalahan  di Lapangan 

Peningkatan  Populasi Ternak 
Program peningkatan populasi yang  telah  dilakukan  pemerintah melalui berbagai kegiatan antara lain: meningkatkan angka  kelahiran dan impor ternak. Salah satu cara meningkatkan angka kelahiran adalah melalui penggendalian pemotongan sapi betina.. Namun  fakta di lapangan  membuktikan bahwa pengendalian pemotongan betina sulit untuk    dilakukan karena peternak rakyat relatif miskin, penjualan ternak merupakan  sumber penghasilan. Pencegahan pemotongan hanya dapat dilakukan jika ada yang membeli untuk dipelihara lagi dan itu hanya mungkin oleh pemerintah  Peningkatan angka  kelahiran dapat juga dilakukan dengan meningkatkan jumlah kebuntingan pada ternak  betina  produktif, baik melalui  intensifikasi  program inseminasi buatan (IB)  maupun mengimpor  ternak betina  yang telah dikawinkan..  Pelaksanaan peningkatan angka kebuntingan dan produktivitas  melalui IB  pada ternak  sapi potong  dan kerbau  di lapangan  menghadapi beberapa  kendala (Tolihere 2004) , antara lain: (1)  Sistem beternak sapi potong dan kerbau umunya  ekstensif / liar digembalakan / dilepas di padang rumput luas atau di hutan, sehingga  menyulitkan untuk pelaksanaan IB.   (2).  Sistem peternakan  sapi potong dan kerbau bersifat tradisionil dan individual, sehingga sulit untuk diubah pola pikirnya untuk mengikuti sistem  peternakan modern dan dihimpun dalam suatu sistem kerjasama kelompok atau organisasi sosial.  (3).  Penyediaan pakan ternak  sangat tergantung kepada alam, dalam hal ini, pada waktu  musim tertentu dimana  kuantitas dan kualitas  kurang baik  akan berdampak  negatif terhadap kondisi tubuh  ternak  dan akhirnya juga berdampak buruk  terhadap  aspek reproduksinya.  (4).  Inseminator  yang mengelola  IB pada sapi potong adalah  umunya tenaga  teknis yang kurang terlatih ( jam terbangnya rendah) dibanding  inseminator pada sapi perah.  (5).  Saran dan  prasarana yang belum memadai , seperti  motor,  akan menghambat kelancaran  pelaksanaan IB.  Pada beberapa daerah  di Sulawesi,  adanya  usaha – usaha penggemukkan  menyebabkan  sapi dan kerbau  jantan muda  langsung  dipelihara secara intensif atau diikat di bawah pohon sehingga  kawanan sapi betina  berahi yang digembalakan  tidak bisa  kawin  secara alam dan hal ini menyebabkan  jarak kelahiran panjang  ( 2 – 3 kali beranak per 5 tahun ) dan tingkat kelahiran rendah  ( Sonjaya dan Thamrin, 1996)
Impor sapi betina  yang bertujuan  menambah populasi betina  produktif ternyata  tidak  mencapai sasarannya, karena  setelah  dipelihara oleh peternak  sebagian besar sapi betina impor tersebut  memperlihatkan gangguan reproduksi  yang mengarah ke infertilitas sampai sterilitas.   Impor ternak bakalan untuk memenuhi  kebutuhan daging  berhasil menekan pemotongan sapi local pada beberapa daerah, tetapi  berdampak negatif terhadap usaha penggemukkan sapi lokal, terutama  peternak rakyat dan perusahaan  peternakan serta pedagang antar pulau.  Hal ini berdampak buruk terhadap  usaha  peternakan sapi lokal, Demikain juga , impor  offal / jeroan sapi yang mencapai 90% dari total Bahan Asal Hewan (BAH) merupakan ancaman yang sangat besar bagi usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Harga offal impor yang murah saat ini digunakan untuk mensubstitusi daging yang pada akhirnya membuat harga daging sapi terdistorsi  Dampaknya  menciptakan kurang bergairahnya usaha peternakan ternak  potong  pada  peternakan rakyat.  
Pada proyek PUKATI  yang bertujuan  untuk mendistribusikan  dan pengembangan  ternak, khususnya sapi  tidak banyak  membantu peningkatan populasi ,  yang terjadi terjadi hanya  perpindahan ternak antar kabupaten dalam satu propinsi atau perpindahan ternak antar propinsi dalam satu kawasan regional.
Berdirinya Balai Inseminasi Buatan  Daerah (BIB-D) pada awalnya adalah merespon kebijakan Pusat  dalam rangka mendekatkan produsen semen dengan pengguna dalam memenuhi semen secara Tepat Waktu, Tepat Breed dan Tepat Jumlah (3T),  sehingga diharapkan dapat meningkatkan jangkauan pelayanan IB kepada para peternak.   Peran BIB-D belum mencapai  target tujuannya secara optimal karena  berbagai kendala teknis dan dukungan biaya operasional dari pemerintah daerah belum maksimal.   Pejantan  unggul  sapi yang disebar ke beberapa BID-D tidak semuanya  dapat bereproduksi, bahkan dalam  proses pemeliharaannya ada beberapa yang mati.  Demikian juga , beberapa pemerintah daerah langsung mengimpor kambing Boer untuk dijadikan sebagai  pejantan unggul sumber  semen cair atau beku, ternyata sebagian kambing Boer yang diimpor tersebut  tidak lebih baik  dari  kambing pejantan lokal, sehingga  peternak menolak kambingnya diinseminasi  oleh semen  kambing Boer ( Sonjaya et al, 2000).  Namun demikian, permasalahan  lain  adalah  belum dilakukannya  untuk  penggantian  Bull, Bandot  atau pejantan   yang dipakai sekarang.



Peningkatan Produktivitas  Ternak .
Peningkatan produktivitas ternak dicerminkan oleh peningkatan berat badan ternak   sehingga produksi daging yang dihasilkannya pada umur yang sama lebih banyak. Produktivitas  yang rendah pada ternak  sapi lokal menyebabkan  peternak merubah  jenis ternak peliharaanya ke bangsa sapi impor atau persilangannya, karena   keturunan sapi impor  pada beberapa tempat  mempunyai harga jual yang sangat tinggi dibanding sapi lokal..  Hal ini  menyebabkan  wilayah  konsentrasi pembibitan ternak potong lokal tidak bisa mempertahankan kemurnian bangsa ternak lokalnya dan  populasi ternak lokal semakin lama  menurun populasinya.   Peningkatan produktivitas yang dilakukan oleh pemerintah (melalui UPT Pusat-pusat Pembibitan)  dan masyarakat peternak  hanya  dilakukan dengan perbaikan manajemen dan mutu ternak. Kedua cara ini tidak mungkin menghasilkan  produktivitas ternak yang unggul  dalam  waktu  yang singkat dan  memerlukan diterapkan dalam beberapa tahun karena peningkatan  produktivitas pada umumnya diharapkan dari turunan sapi berikutnya.  Kendala lain , pusat – pusat pembibitan milik pemerintah  dalam era ototnomi  daerah banyak yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena adanya keterbatasan  dana.

 Peningkatan  Kualitas dan Kuantitas  Hijauan Makanan Ternak.
Bagi  sebagian  peternak di Kawasan  Timur  Indonesia  dalam memelihara ternak  ruminasia potong  umumnya digembalakan  secara ekstensif di padang penggembalaan, di sawah –sawah / kebun pada musim kemarau  atau di hutan dan hanya sebagian kecil pemeliharaan ternak di lakukan secara intesif atau semi intensif.   Hal ini menyebabkan  produktivitas  ternak  sangat tergantung kepada alam  dan program   peningkatan ketersedian  dan  perbaikan  mutu hijauan makanan ternak tidak berjalan lancar.   Terjadinya  penyempitan  areal padang pengembalaan  dan hutan akibat perubahan status tanah menjadi  perkebunan coklat dll dan perumahan, menyebabkan  peternak menjual sapinya dan dampaknya menurunkan populasi ternak. Program  sistem integrasi  padi-ternak (SIPT)  yang bertujuan untuk peningkatan produksi ternak potong sekaligus  peningkatan produksi pangan pada lahan tanaman pangan berigasi tidak  berdampak  positif terhadap  peningkatan populasi dan produktivitas ternak (  Yusdja et al, 2004.).  
Kesehatan Ternak
Program  penanggulangan  penyakit ternak ruminasia potong   menurut pengamatan penulis  di lapangan belum dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.  Peran karantina hewan dan  instansi yang terkait  terhadap  ancaman datangnya penyakit  menular, baik  yang berasal  dari luar negeri maupun antar pulau  masih perlu ditingkatkan.  Demikian juga kesadaran dan kewaspadaan peternak akan  penyakit  masih rendah,  hal ini dapat dibuktikan  dengan adanya  bibit ternak  yang dikrim atau didatangkan  tanpa prosedur  yang telah ditetapkan , yang penting harga bibit itu murah.

Rekomendasi  Mempertajam   Pengembangan  Ternak Ruminasia Potong ke Arah  Swasembada Daging
Peningkatan  Populasi  Ternak .   
Peningkatan  populasi ternak potong  tetap harus dilakukan secara sinergi antara  peningkatan  angka kelahiran  ternak  dari populasi yang ada dengan impor ternak hidup dengan memperhatikan tingkat pengurasan ( penurunan ) ternak  potong  dan  kemampuan produksi ternak potong dalam negeri.  Untuk itu perlu dilakukan  data dasar populasi ternak potong  yang akurat dan aktual.  Kajian struktur populasi  yang tepat untuk setiap  daerah  sentra produksi ternak  ruminansia perlu  dilakukan untuk  mengevaluasi dan memprediksi  stok  jumlah ternak yang ada berdasarkan   umur, jenin kelamin, dan  parameter-parameter penentu populasi . Tersedianya  struktur populasi  ternak potong yang akurat, misalnya sapi potong, dengan menggunakan software computer program simulasi  populasi dapat  digunakan untuk merancang kebijakan  pengadaan  impor sapi hidup atau daging , target sasaran  tingkat kelahiran yang harus dicapai , dll.
Peningkatan   angka kelahiran  dapat dilakukan  dengan pembaharuan  sistem   inseminasi buatan  pada semua  ternak ruminansia  potong.  Pelaksanaan  IB harus memperhatikan  jaminan mutu  (quality assurance) dari bibit (semen ) pejantan unggul,  sapi betina akseptor IB, sistem  dan manajemen IB ,  kualitas inseminator  dan partisipasi aktif dari peternak.   Peran BIB-D  sangat penting  dalam menjamin  mutu semen dari pejantan  unggul yang dipelihara.   Monitoring dan evaluasi  terhadap kualitas kinerja BIB – D perlu terus dilakukan  dan di akreditasi oleh tim  pakar nasional independent.  Proses pembuatan semen cair dan semen beku, selain mengikuti  prosedur  SNI juga perlu ditingkatkan  dengan introduksi teknologi seksing (pemisahan )  sperma pembawa kromosom kelamin X dan Y.  Peremajaan  pejantan unggul dapat dilakukan dengan seleksi dari keturunan  dengan menggunakan metode pemulian ternak atau langsung dilakukan  transfer embrio dari pejantan dan betina asli untuk menghasilkan pejantan muda.     Untuk ternak ruminansia kecil ( Domba dan Kambing)  perlu seleksi  bibit  yang mempunyai  tingkat prolifikasi yang tinggi, sehingga  dengan jumlah anak yang banyak ( 2 – 3 ekor per satu kelahiran )  akan mempercepat peningkatan populasi.   Sinkronisasi berahi  pada ternak sapi potong dan kerbau melalui penggunaan hormonal ( PG F2α,  preparat progesterone , GnRH dan kombinasinya)   perlu diterapkan untuk mengatasi  kesulitan deteksi estrus karena  sistem pemeliharaan yang ektensif.   IB  mandiri  perlu dilaksanakan pada kelompok ternak  yang sudah maju. Sistem reward  dan punishmen pada inseminator   perlu  diterapkan untuk  memotivasi inseminator meningkatkan  keahliannya dan menunjang kesejahteraan inseminator.  Peningkatan  karir inseminator  berprestasi perlu ditingkatkan menjadi  tenaga pemeriksa kebuntingan (PKB) dan Asisten Teknis Reproduksi) .  Partisipasi dan pengetahuan  peternak dalam  program IB perlu ditingkatkan  secara terus menerus.
Dari aspek kebijakan impor ternak  terobosan yang dapat dilakukan antara lain : perbanyak impor bibit berkualitas untuk memperbaiki struktur populasi dan kualitas ruminansia  potong , impor sapi bakalan untuk mencegah terjadinya percepatan pengurasan populasi sapi lokal, serta perlu   dilakukan pembedaan prosedur impor daging dan jeroan, dan pengendalian volume importasinya mengingat terdistorsinya pasar daging dalam negeri.   Dalam proses mendatangkan ternak impor harus tetap konsisten dilakukan dari negara yang dinyatakan bebas penyakit menular berbahaya oleh OIE (Office International Des Epizooties) untuk melindungi ternak potong lokal dari tertular penyakit tersebut.
Kebijakan impor sapi bakalan ternyata telah mulai memberikan dampak negatif bagi produksi dalam negeri. Namun demikian sisi positif dari impor sapi bakalan ini adalah pertama mengurangi pengurasan ternak di wilayah WSP dan pada sisi lain kebutuhan daging terpenuhi di WSK sehingga inflasi dapat ditekan. Oleh karena itu jumlah impor sapi bakalan harus mempertimbangkan tingkat pengurasan dan tingkat kemampuan produksi dalam  negeri. Jumlah impr sapi bakalan pada angka lebih dari angka 400 ribu ekor di duga telah dapat mencegah pengurasan di WSP tetapi jumlah itu telah memberikan dampak terhadap banyak perusahaan perdagangan ternak antar pulau yang terpaksa harus menutup usahanya. Untuk menjawab berapa jumlah impor yang layak dari tahun ke tahun perlu penelitian tentang suplai dan permintaan dalam negeri terutama untuk WSP dan WSK untuk mendapatkan angka parameter yang lebih akurat.
 Program   Industri  Ternak  Ruminasia Potong.
Pembangunan peternakan masa mendatang sebaiknya tidak lagi focus pada usaha peternakan rakyat, tetapi sudah mulai menggunakan pendekatan industri sapi potong.  Program pemerintah  dulu yang berfokus pada usaha rakyat dengan  program bantuan ternak, baik gratis maupun dana bergulir, menciptakan  prilaku pengemis yang hanya ingin dibantu terus, tetapi tidak menumbuhkan jiwa kemandirian dan  kewirausahaan.  Dengan kata lain pemerintah harus meninggalkan cara-cara lama dalam  pengembangan peternakan, seperti strategi dan program yang difokuskan pada  usaha sapi potong rakyat. Ada dua cara yang saat ini dapat segera dilakukan  yakni pertama pemerintah memfokuskan program-program pembangunan  peternakan untuk meningkatkan kemampuan usaha ternak skala kecil (bukan usaha rakyat) yang bersifat komersil hingga skala menengah. Program-program pemerintah yang sekarang hampir diseluruh Indonesia fokus pada pembangunan usaha rakyat. Untuk itu, pemerintah daerah kabupaten dengan   wilayah otonom  diharapkan melakuan pendataan tentang keberadaan usaha penggemukan skala kecil dan skala menengah ini. Langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan pembangunan  peternakan komersil di wilayahnya masing-masing dengan tetap memfungsikan instansi terkait sebagai fasilitator dengan memberikan bantuan teknis dan ekonomis.  Secara nasional, pemerintah  dapat menciptakan lingkungan yang kondusif seperti penyediaan pelayanan  investasi yang cukup, memberikan porsi perhatian yang tinggi terhadap  pembangunan peternakan.
.Peningkatan Produktivitas  dan Pembibitan Ternak.
Masalah pembibitan untuk menghasilkan sapi bakalan tidak menarik investor karena ada cara yang lebih mudah yakni dengan mengimpor sapi bakalan. Sementara pembibitan yang dilakukan oleh peternakan rakyat mempunyai skala yang sangat kecil sehingga sulit diharapkan berkembang menjadi perusahaan pembibitan. Selain itu investasi untuk pembibitan membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif besar sementara resikonya tinggi. Atas dasar itu, untuk tujuan melestarikan dan mengembangkan potensi yang ada maka sebaiknya investasi usaha pembibitan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk BUMN atau pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta. Strategi ini diharapkan dapat mendorong investor lain di masa datang untuk mengembangkan pengembangan usaha pembibitan khususnya ternak ruminasia potong lokal , misalnya sapi Bali dan Madura. Sementara itu, usaha-usaha pembibitan yang ada saat ini harus dibina dan dikembangkan terutama usaha-usaha pembibitan yang berskala menengah. Dalam hal ini, Ranch Mini milik peternak dengan luasan 50 – 100 ha dan populasi sapi rataan 100 ekor, di berbagai daerah KTI, dapat dilibatkan dalam usaha pembibitan yang mengarah ke usaha bisnis ( Business oriented).   Meningkatkan kemampuan perusahaan pembibit skala menengah ini dapat menjadi cikal bakal perusahaan pembibitan di masa datang  paling tidak dapat membantu pengadaan sapi bakalan untuk kebutuhan di wilayah sentra produksi ternak potong (WSP).
Aplikasi bioteknologi  dalam program pembibitan  seyogyanya diterapkan dengan  mengintroduksi  teknik  multiple ovulasi,  koleksi dan transfer embrio ( MOET)  ditindaklanjuti dengan  pembekuan embrio  untuk meningkatkan  kualitas sapi donor  yang bermutu genetii tinggi.   Teknik  koleksi dan pematangan oosit  (OPU)  dilanjutkan dengan   produksi embrio secara invitro  ( IVP)  perlu juga mulai diaplikasikan  di Balai Transfer Embrio atau Perguruan – perguruan Tinggi di kawasan Timur Indonesia.  Oosit dapat berasal dari  ovarium   baik yang berasal dari ovarium  ternak hidup maupun dari ovarium  betina  yang dipotong dari Rumah pemotongan Hewan.   Penggunaan  marka gen  yang mencirikan  karakter – karakter yang bernilai ekonomis dan  potensil  pada ternak lokal  untuk peningkatan produkstivitas.  Misalnya untuk peningkatan tingka ovulasi pada  domba  adalah BMP 15, GDF 9b, BMPRIB (McNatty et al , 2005)  gen  Booroola (FecB)  ( Wheeler et al, 2003) 

Pemasaran  Produk  Ternak Ruminansia Potong

Perdagangan ternak hidup tidak lagi menguntungkan karena terlalu banyak retribusi dan pungutan selama perjalanan dan resiko yang besar selama dalam perjalanan. Oleh karena itu, pada masa datang perdagangan ternak hidup di dalam negeri mungkin tidak layak lagi dan perlu digantikan dengan perdagangan daging beku atau perdagangan karkas.  Untuk meningkatkan efisiensi dalam perdagagan ternak, maka adalah layak bagi pemerintah menyediakan RPH yang modern di WSP. Pembangunan RPH modern yang telah dilakukan pemerintah diberbagai propinsi ternyata tidak berjalan sebagaiman mestinya. Oleh karena itu untuk antisipasi masa depan, paling tidak RPH modern yang ada di WSP harus kembali dihidupkan untuk tujuan melayani pasar daging khususnya di WSK dengan  memperbanyak  outlet  (meatshop) daging segar atau daging beku.  Untuk  keperluan perdagangan antar pulau dan antar propinsi  perlu dilengkapi dengan  mobil yang dilengkapi dengan  alat pendingin  atau box pendingin  pada kapal laut.  Perdagangan ternak hidup hanya dikhususkan  untuk  ternak bibit atau  pesanan khusus  untuk keperluan  acara keagamaan, seperti ternak kurban.

Pengembangan  Kuantitas dan Kualitas  Hijauan Makanan Ternak.
Peningkatan  kuantitas dan kualitas hijauan makanan ternak  perlu  dilakukan secara sinergi,  program perbaikan  padang pengembalaan  melalui introduksi  rumput dan legume unggul  perlu ditindaklanjuti  dengan  bimbingan teknis manajemen penggembalaan  ternak  pada daerah-daerah yang lahan /areal padang pengembalaan masih cukup luas.  Program  ini dapat dipadukan dengan program  pengembangan  usaha pembibitan  melalui  pemberdayaan ranch –ranch mini.
Pada daerah  tanaman pangan  dan lahan beririgasi  Proyek Usaha Penggemukan Berbasis  Tanaman Pangan dapat dilanjutkan dengan  melibatkan pemerintah daerah dan khususnya para penerima proyek. Pemerintah sebaiknya meninggalkan pendekatan ”top down” yang menganggap semua daerah penerima proyek adalah sama dan menggantikannya dengan pendekatan partisipatif. Selain itu program-program harus difokuskan pada WSP dan jumlahnya harus diperbesar sampai pada suatu ukuran yang dapat menjawab masalah produktivitas, populasi dan pendapatan peternak pada tingkat proyek.  Jenis program usaha integrasi tanaman dan ternak  untuk tujuan yang sama tidak perlu berbentuk sama,  tetapi dapat dimodifikasi  sesuai dengan potensi lahan dan budaya setempat .
 Penelitian yang  perlu  dikembangkan  untuk menunjang  perbaikan ketersedian  hijauan makanan ternak dan penggunaanya  oleh ternak ruminasia potong, adalah: (1) Ketersediaan zat-zat nutrisi  bagi haijauan makanan ternak, (2).  Efisiensi pencernaan oleh mikroorganisma alat pencernaan dan (3). Interaksi antara zat nutrisi dengan  jaringan pada tubuh ternak. (McSweeney & Makkar, 2003)

Arah Bentuk Struktur Industri Sapi Potong.
Peran usaha rakyat dalam produksi daging nasional secara bertahap akan terus menurun. Oleh karena itu, struktur industri harus dikembangkan diluar usaha rakyat dan tradisional saat ini. Usaha rakyat yang ada sekarang ini dapat dijadikan bumper untuk membangun industri peternakan dari skala kecil hingga mengalami pertumbuhan dalam jangka panjang. Hal yang perlu dilakukan untuk menggeser struktur produksi dari yang ada sekarang adalah peluang investasi yang lebih  besar untuk usaha sapi potong dan menggerakan investasi untuk pengadaan pakan hijauan bagi penyelamatan industri sapi potong rakyat yang ada sekarang. Dengan menjadikan usaha rakyat yang ada sekarang menjadi bumper, maka industri peternakan modern dapat dimulai dengan segera tanpa harus kuatir menunggu produksi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri.

Kesehatan Ternak dan Keamanan   Produk Ternak Ruminasia Potong.
Penerapan  biosekuriti  terhadap proses produksi  ternak potong maupun ternak bibit  perlu diterapkan  secara berkesinambungan  untuk menjamin  tercapainya peningkatan produktivitas ternak dan keamanan  produk ternak ruminansia potong  yang akan dijual.   Penyakit menular seperti anthrak, ngorok, PMK dan BSE perlu diwaspadai  dengan memperketat  masuknya ternak hidup  dari luar maupun produk-produk peternakan lainnya.  Surveillance  penyakit  pada daerah – daerah padat ternak  perlu dilakukan secara  berkesinambungan  untuk  mendeteksi secara dini perubahan penyakit  pada suatu populasi ternak dan  mengambil tindakan  pencegahan dan pengobatan  secepat mungkin.  Hal ini diperlukan  bila  Indonesia pada masa datang mau menjadi  negara pengekspor ternak hidup atau produk ternak potong.
Penggunaan teknologi berbasis gen untuk kesehatan ternak juga sangat penting kontribusinya  untuk : (1) interaksi induk semang – penyakit pathogen, (2). Diagnosa penyakit, (3)  Epidemiologi  molecular  dan (4) pembuatan vaksin .   Sebagai contoh diagnosa  penyakit virus menggunakan  teknik  biologi molekuler  berbasis pada  PCR (polymerase chain reaction)  yang tingkat ketelitiannya lebih tinggi disbanding teknik konvesional. (Pastoret, Barret & Dominngo, 2003).

Kesimpulan

  • Pengembangan  ternak ruminansia potong  ke arah swasembada daging harus dilakukan dengan pendekatan holistic  yang memperhatikan  berbagai aspek teknis produksi dan reproduksi,  kebijakan pemerintah , ekonomi  dan partisipasi  dari masyarakat peternak.
  • Penerapan  teknologi berbasis bioteknologi  dalam  aspek teknis  produksi dan  rproduksi  dapat mempercepat  penegembangan ternak ruminansia potong ke arah swasemda daging. 

Daftar  Pustaka;
Mozes, M.R.  Kilas balik pelaksanaan inseminasi buatan di Indonesia.  Prosiding Seminar Nasional  Industri Peternakan  Modern. Makassar. 21-22 juni. 2004.   2004.
McNatty, K.P., Galloway, S.M. Wilson, T. Smith, P., Hudson, N.L., O’Connell, Bibby, A.H. Heath, D.A.  Davis, G.H., Hanrahan, J.P., & Juengel, J.L. 2005.  Physiological effects of major genes affecting ovulation rates in sheep. Genet. Sel. Evol. 37: 25 – 38.
McSweeney, C.S & Makkar, H.  2003. Gene-based technologies apllied to plant, rumen microbes, and systems biology. In “ FAO / IAEA  International  symposium on  Applications of Gene-based Technologies for Improving Animal Production and Health in Developing Countries” 
Pastoret , P., Barret, H & Domingo E. 2003. Gene-based technologies apllied to pathogens and host-pathogens interactions. In “ FAO / IAEA  International  symposium on  Applications of Gene-based Technologies for Improving Animal Production and Health in Developing Countries”
Sonjaya, H. &  Idris, T. 1996.  Kecenderungan  perkembangan populasi  sapi potong di Sulawesi Selatan. Forum Komunikasi Pimp[inan Perguruan Tinggi Peternakan se Indonesia. 9 – 10 Agustus 1996. UNHAS  UjungPanang. 
Sonjaya,H. Abustam, E. Ranggang,M,  & Sariuang, M , 2000.  Peningkatan Kualitas Kambing Lokal melalui Inseminasi Buatan dengan semen Kambing Boer. Laporan Penelitian Kerjasama  IP2TP-Fapet UNHAS
Wheeler, M.B., Walters, E.M. & Clark, S.G.  Transgenic animals in biomedicine and agriculture: outlook for the future.  Anim Reprod Sci; 79: 265 – 289
Yusdja, Y., Sajuti, R., Suhartini, S H., Sadikin, I., Winarso, B & Muslim, C. 2004.  Pemantapan program dan Strategi kebijakan  Produksi daging sapi.  Laporan Akhir Penelitian. Pusat  Penelitian dan Pengembangan  Sosial Ekonomi Pertanian LITBANG – DEPTAN, 2004. 

1 komentar:

  1. trimaksih bwat postingannya pak. smoga bisa bermanfaat bagi pengembangan potensi peternakan sapi yang ada di prov.NTT.

    BalasHapus